PALOPO — Dalam kegiatan bertajuk ‘Diskusi Akhir Tahun’ yang digagas Jurnalis Online Indonesia (JOIN), praktisi hukum Harla Ratda SH MH mengkritisi aparat yang kadang grasa grusu menggunakan KUHP atau UU ITE untuk ‘menghabisi’ wartawan padahal insan jurnalistik punya landasan hukum tersendiri alias Lex Specialis jika terkait dengan pemberitaan.
Hal itu disampaikan Harla saat menjadi narasumber dalam diskusi yang menyajikan tema “Kenapa Pejabat (Takut) Dikeritik”, di Swetness Coffee 45, Palopo, Kamis 20 Desember 2018.
Disebutkan Harla Ratda yang juga dosen Fakultas Hukum Unanda, bahwa sudah waktunya UU nomor 40 tahun 1999 tentang Pers direvisi karena di dalamnya, kata dia, tidak spesifik menyentuh persoalan baik yang sudah diatur dalam KUHP maupun dalam UU ITE untuk melindungi kerja-kerja jurnalistik.
“UU nomor 40/1999 tentang Pers itu sudah waktunya direvisi, karena selama ini mereka yang menjadi korban pemberitaan selalu menggunakan Delik Pers dalam KUHP dan UU ITE untuk menghantam pihak pers itu sendiri, padahal azas yang berlaku di Indonesia seharusnya jika ada UU Lex Spesialis maka UU general (umum) dikesampingkan dan yang berlaku UU Lex Spesialis yaitu UU 40/1999 tetapi sayangnya masih ada aparat penegak hukum yang kurang memperhatikan masalah ini,” papar Harla.
Lanjut Harla, soal usulannya bahwa UU nomor 40/1999 perlu direvisi, dia katakan bahwa di UU itu hanya mengatur tentang hak jawab, kemudian bagaimana membuat berita sesuai kaidah atau kode etik jurnalistik dan lain-lain, ia tidak tajam mengatur soal langkah hukum dan sanksi hukum, untuk itu perlu direvisi, karena tidak cukup membuat pers menjadi lembaga yang kuat, independent dan mandiri, tandasnya lagi.
“Senjata yang digunakan korban pemberitaan ada dua yakni KUHP dan UU ITE, belum lagi secara Perdata mereka bisa mengajukan tuntutan ganti rugi materiil jika sangkaan pencemaran nama baik yang dilakukan jurnalis dinilai merugikan secara ekonomis, jadi wartawan harus hati-hati karena dua senjata ini mematikan, yang satu ancaman hukumannya 9 bulan yang satu bisa sampai 12 tahun penjara,” tegas pengacara kondang di Palopo ini.
Kegiatan diskusi berdurasi 1,5 jam ini juga menghadirkan narasumber Rifai Manangkasi selaku Ketua DPW JOIN Sulsel dan Samil Ilyas, Kepala Inspektorat Kota Palopo yang turut dihadiri insan pers dan anggota JOIN di Luwu Raya.(*)