Oleh: Hersubeno Arief
Benarkah Wapres Jusuf Kalla (JK) mulai meninggalkan Jokowi? Spekulasi politik itu berembus kencang bersamaan dengan kampanye terbuka Prabowo di Kota Makassar Ahad (24/3).
Kampanye dilaksanakan di lapangan Karebosi, lapangan terbesar di Kota Makassar itu penuh sesak. Sejumlah atribut partai, termasuk bendera Partai Golkar berkibaran.
Harian Umum Tribun Timur Makassar edisi Senin (25/3) menurunkan berita utama ( headline ) dengan judul “Fatimah Kalla Hadiri Kampanye Prabowo.” Di bawah sub judulnya tertulis : Amin Syam dan Prof Idrus Paturusi Merapat ke Prabowo.
Pilihan judul ini sungguh menarik. Sebagai media, koran milik jaringan Kelompok Kompas Gramedia (KKG) itu mencium sebuah peristiwa politik besar. Bukan hanya skala jumlah pendukung yang hadir, namun yang lebih penting, siapa yang hadir. Ada tanda-tanda yang sangat jelas dan nyata sedang terjadi migrasi politik besar-besaran di Timur.
Fatimah Kalla adalah adik bungsu JK. Wanita berusia 57 tahun itu selama ini dipercaya mengelola bisnis keluarga besar Kalla. Dengan latar belakang pendidikan apoteker, Fatimah menjadi Direktur Utama Kalla Group (2000-2014).
Dia merupakan nahkoda ketiga Kalla Group setelah sang pendiri Haji Kalla dan JK. Saat ini konglomerasi dari Indonesia Timur itu dipimpin oleh nahkoda keempat Solihin Kalla anak Kandung JK.
Migrasi besar keluarga Kalla itu dimulai oleh Erwin Aksa — anak pengusaha Aksa Mahmud— keponakan JK. Erwin mantan Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) mulai menunjukkan pilihan politiknya secara terbuka saat berlangsung debat antar-cawapres Ahad (17/3). Akibatnya dia diberhentikan DPP Golkar karena secara resmi pohon beringin mendukung Jokowi-Ma’ruf.
Bukannya melangkah surut, empat hari kemudian Kamis (21/3) Erwin mengumpulkan 1.000 orang pengusaha mendukung Prabowo-Sandi. Acara yang digelar oleh Aliansi Pengusaha Nasional di gedung Jakarta Theater ini merupakan perlawanan terbuka Erwin.
Erwin saat itu menyatakan pilihannya mendukung Prabowo-Sandi atas dasar pertimbangan persahabatan dengan Sandi. Dia mengaku ketika menjadi Ketua Umum HIPMI banyak dibantu oleh Sandi, ketua umum HIPMI yang digantikannya.
Dengan latar belakangnya sebagai keponakan JK dan Preskom Bosowa Group, alasan itu terlalu naif. Ada pertaruhan besar secara politik, maupun bisnis di balik keputusan itu.
Bosowa Group yang didirikan Aksa Mahmud saat ini telah menjelma menjadi konglomerasi besar. Erwin harus pandai-pandai membaca arah perubahan angin politik. Dan yang tak boleh dilupakan, Erwin pasti sangat paham posisi JK yang saat ini tengah menjadi wapres.
Dipastikan ada diskusi dan kalkulasi secara politik maupun bisnis yang mendalam diantara dua klan besar Kalla dan Aksa, sebelum Erwin membuat langkah besar.
Sebagai pengusaha instink politik dan radar penciuman mereka sangat tajam. Hal ini berkaitan dengan eksistensi bisnis mereka. Jangan sampai terlambat melompat dari kapal yang mau karam, dan jangan melompat ke sekoci yang mau tenggelam.
Kepada media JK menanggapi langkah Erwin secara berkelakar. Menurutnya Erwin tidak minta izin kepadanya, hanya memberi tahu. “Ya, kalau Erwin punya sikap begitu saya hargai walau dia tidak minta izin. Cuma kasih tahu. Kalau itu levelnya minta izin, saya tidak kasih izin,” kata JK.
Jangan dilupakan selain wapres, JK saat ini menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan Pengarah TKN Jokowi-Ma’ruf. JK mengaku menghargai sikap Erwin yang lebih mengutamakan persahabatan ketimbang politik.
“Saya sering ajarkan ke keluarga, kemenakan saya juga, bahwa persahabatan seumur hidup tapi politik hanya lima tahun bisa berubah-ubah sikap,” katanya masih dalam nada yang ringan.
Sampai disini penjelasan JK masih masuk akal. Persahabatan lebih utama, ketimbang politik. Namun bagaimana dia menjelaskan kehadiran Fatimah, Amin Syam dan Prof Idrus Paturusi? Jelas mereka bukan sahabat Prabowo atau Sandi seperti Erwin?
Amin Syam adalah mantan Ketua DPD Golkar dan Gubernur Sulsel. Sementara Idrus Paturusi adalah mantan Rektor Universitas Hasanuddin, Makassar. Mereka adalah tokoh-tokoh berpengaruh, dan dikenal sebagai orang-orang dekat JK.
Bisa kita simpulkan kampanye di lapangan Karebosi, Makassar adalah proses awal hijrah politik klan Kalla dan para pendukungnya. Mereka secara terbuka mulai mengalihkan dukungan politik dari Jokowi ke Prabowo.
Sangat merugikan Jokowi
Hijrahnya JK ke kubu Prabowo— kendati belum secara resmi— akan sangat merugikan. Menjadi pukulan telak bagi Jokowi. Peran JK sebelum maupun sesudah pilpres sangat besar. Ada beberapa representasi yang melekat pada JK dan tidak dimiliki Jokowi. Apalagi Ma’ruf.
Pertama, JK adalah representasi kekuatan politik dari Indonesia Timur. Kemenangan pasangan Jokowi-JK pada Pilpres 2014 di kawasan ini, khususnya Provinsi Sulawesi Selatan adalah andil utama JK. Kantong suara ini bisa dipastikan akan ikut bermigrasi ke Prabowo-Sandi bersama keluarga Kalla.
Kedua, pada diri JK terdapat perpaduan yang unik dalam hubungannya dengan umat Islam. JK secara kultural adalah seorang nahdliyin. Dia anggota resmi NU. Namun sejak muda JK juga aktif dalam pergerakan Islam modernis.
Dia pernah menjadi kader Pelajar Islam Indonesia (PII), dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Dengan latar belakang ini JK leluasa dan sangat diterima di kalangan pergerakan Islam modernis. Di segmen ini Jokowi sangat lemah.
Ketiga, JK juga merupakan representasi kalangan dunia usaha. Selain sebagai pebisnis ulung, dia juga aktif di organisasi para pengusaha Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia. JK pernah menjadi ketua KADIN Sulsel.
Keempat, JK juga bisa diterima di kalangan umat Kristen, Katolik dan etnis Cina. Pengusaha Sofjan Wanandi (Lim Bian Koen) salah satu orang dekat JK. Dia saat ini menjadi Ketua Tim Ahli Wapres.
Melalui Sofjan, JK mempunyai jalinan dengan simpul-simpul kekuatan Katolik seperti CSIS dan jaringan media Kelompok Kompas Gramedia (KKG). Jalur JK banyak dimanfaatkan oleh kelompok ini.
Posisi Sofjan sampai saat ini masih mendukung Jokowi. Melalui Assosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) yang didominasi etnis Cina, Sofjan menggalang “10.000” pengusaha mendukung Jokowi di Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta Kamis (21/3).
Hijrahnya JK kemungkinan besar akan diikuti oleh kelompok ini. Ciri khas yang kuat melekat pada mereka, secara idiologi sangat kuat, dalam strategi politik, sangat pragmatis. Bagi mereka selama ada jaminan kepentingan bisnis dan politiknya terjaga, mereka bersedia meninggalkan Jokowi.
Representasi dan peran politik JK inilah yang sekarang tidak dimiliki Ma’ruf Amin. Sebagai kyai sepuh sejauh ini peran Ma’ruf hanya untuk menjaga agar jangan sampai suara kalangan nahdliyin lari. Itupun hanya sebatas NU struktural. Banyak tanda yang menunjukkan NU kultural sudah mengalihkan dukungan ke Prabowo.
Peran JK terus berlanjut ketika Jokowi terpilih menjadi presiden. Kendati tidak banyak diberi peran dalam pengambilan keputusan pemerintahan, Jokowi sangat membutuhkan JK dalam urusan internasional.
Hampir semua pertemuan internasional mulai dari Sidang Umum PBB, Pertemuan negara-negara G-20, termasuk Organisasi Kerjasama Negara-Negara Islam (OKI) diserahkan ke JK.
Dalam lima tahun ini Jokowi hanya pernah sekali hadir di SU PBB. Dia tampaknya tidak punya modal kepercayaan diri yang kuat untuk hadir di forum internasional semacam itu.
Peran itu jelas akan sulit dimainkan oleh Ma’ruf seandainya mereka terpilih. Ma’ruf tidak punya pengalaman di pemerintahan, maupun pertemuan-pertemuan internasional.
Jokowi harus siap menghadapi realita bahwa dia akan menanggung beban berat sendirian akibat pilihan plitiknya. Beban berat itu sudah mulai dia rasakan sejak sekarang. Ma’ruf alih-alih mendongkrak, yang terjadi malah men-downgrade elektabilitasnya.
JK membawa Jokowi ke masa depan (lima tahun pemerintahan pertama). Ma’ruf —sekali lagi seandainya terpilih— akan menjadi beban bagi masa depannya.
end