Oleh Margarito Kamis (Doktor HTN, Staf Pengajar FH Univ. Khairun Ternate)
Suara di Situng KPU atau suara yang direkapitulasi dan ditetapkan KPU
melalui rapat pleno rekapitulasi dan rapat pleno penetapan perolehan suara pasangan capres-cawapres, yang bernilai hukum sah?
Pertanyaan-penyataan ini belakangan muncul berkenaan dengan tampilan Situng KPU yang dari waktu ke waktu mengundang tanya, karena suara materi yang tersaji di dalamnya dinilai oleh berbagai kalangan ahli IT, terutama ahli IT dari BPN tidak cukup kredibel,
karena satu sebab; terjadi salah input.
Menariknya sejumlah orang yang teridentifikasi berafiliasi dengan pasangan Prabowo-Sandi membawa, menyengketakan peristiwa ini ke Bawaslu, satu-satunya organ pemilu yang memegang kewenangan mengoreksi tindak-tanduk berkategori administratif KPU. Tepatkah soal ini disengketakan di Bawaslu? Faktanya beberapa laporan telah diperiksa oleh Bawaslu.
Suara Sah Secara Hukum
Pemilu dalam pengertian hukum adalah cara pengisian jabatan presiden-wakil presiden dan jabatan anggota DPR, DPD dan DPRD. Dalam arti hukum jabatan presiden bersifat tunggal, berbeda dengan jabatan anggota DPR, DPD dan DPRD yang semuanya bersifat jamak. Tetepai terlepas dari sifat jabatan-jabatan itu, pemilu dilaksanakan karena eksistensinya diatur dalam UUD dan diperintahkan untuk dilaksanakan sekali dalam lima tahun.
Dilihat dari sudut pandang hukum, masalahnya adalah bagaimana cara
melaksanakan dua pemilu ini, baik bersamaan maupun terpisah? Pelaksanaannya harus didasarkan pada hukum. Hukum yang bagaimana bentuknya? Undang-undangkah atau peraturan dibawahnya, terasuk peraturan KPU, yang sering dikenal dengan sebutan PKPU?
Pasal 6A ayat (5) UUD 1945 selengkapnya berisi ketentuan sebagai berikut “Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam Undang-Undang. Pasal 22E ayat (6) selengkapnya berisi ketentuan sebagai berikut: Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang. Jelas.
Heading pasal 22E ini berada dalam Bab VIIB tentang Pemilihan umum. Ayat (2) pasal ini berisi ketentuan “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.” Apa makna hukum dari baik ketentuan yang tertera pada pasal 6A ayat (5) maupun pasal 22E ayat (6) UUD 1945? Makna hukumnya adalah tata cara pemilihan umum diatur dengan hukum yang berbentuk UU. Tidak bisa lain dari itu.
Sekarang muncul soal hukum lain. Apa yang dimaksud dengan norma “tata cara” dalam ayat (5) Pasal 6A UUD 1945? Apakah pelaksanaan kampanye, pendftaran calon presiden dan wakil presiden, kapan mereka mendaftar, dimana mendaftar, kapan mereka mereka berkampanye, dimana dan bagaimana bentuk kampanyenya, kapan pelaksanaan pemungutan suara, siapa yang menyelenggarakanpemungutan suara itu, bagaimana suara dicatatkan dan di media apa suara harus dicatatkan, kapan penghitungan suara secara berjenjang dilakukan, dimana, oleh siapa dan bagaimana pelaksanaannya hingga penetapan perolehan suara memiliki sifat sebagai tata cara pilpres?
Secara hukum semua yang disebut di atas adalah tata cara, tidak lain dari itu. Sifatnya sebagai tata cara dituangkan dan terlihat dari pengaturan yang terdapat dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum. Dalam UU ini tidak ditemukan satupun ketentuan yang menjadi dasar hukum Situng. Disitu masalahnya. UU ini cukup jelas mengatur perolehan suara pasangan calon presiden dan wakil presiden termasuk calon anggota DPR, DPD dan DPRD. Suaranya mereka dicatatkan untuk pertama kali pada kertas plano, diistilahkan dengan Form C1 Plano. Jumlah suara yang dituliskan dalam C1 Plano itulah yang dialihkan atau ditransfer secara apa adanya ke Form C1. Form C1 ini harus ditandantangani oleh KPPS dan para saksi yang hadir, tentu yang bersedia menandatanganinya.
Surat suara, berikut dokumen lainnya termasuk Form C1 dibawa ke Panitia Pemilihan Kecamatan, PPK. Di PPK suara-suara yang gerasal dari PPS ini direkapitulasi jumlahnya, lalu diplenokan oleh PPK. Pleno ini diswebutr pleno penetapan peroleh suara pasngan calon. Pleno ini harus dihadiri oleh Panitia Pengawas Kecamatan, Panwascam, dan para saksi pasangan calon. Prosedur
yang sama berlaku pada rekpitulasi dan pleno penetapan peroleh suara tingkat Kabupaten dan seterusnya tingkat provinsi hingga ke tingkat nasional yang diselenggarakan oleh KPU.
Suara yang direkapitulasi dan diplenokan dalam pleno khusus penetapan perolehan suara pasangan calon presiden dan wakil presiden inilah yang memiliki nilai, sifat dan kapasitas hukum sebagai suara sah. Suara sah inilah yang menjadi dasar penetapan KPU tentang calon presiden dan calon wakil presiden terpilih dalam pilpres. Praktis secara hukum perolehan suara sah calon presiden dan wakil presiden adalah suara sah yang diplenokan oleh KPU, bukan angka, suara pada Situng KPU. Sama sekali bukan.
Kebijakan
Suara disitung KPU, secara hukum tidak memiliki nilai, sifat dan kapasitas
sebagai suara sah. Itu sebabnya, dengan tanpa Situng sekalipun, tidak ada
pengaruh. Konsekuensi hukumnya suara pemilih pada situng KPU tidak memiliki nilai dan akibat hukum apapun. Suara-suara di Situng KPU tidak sah digunakan sebagai patokan untuk menilai sah atau tidak sahnya Form C1 berhologram yang dipegang oleh, misalnya saksi. Tidak. Hanya form C1 berhologram yang bisa digunakan, dengan menyandingkannya untuk menguji dokumen yang mirip dalam rangka memastikan sah atau tidak sahnya Form C1 yang dimliki oleh
saksi pasangan calon atau caleg.
Situng, sekali lagi, tidak bisa digunakan sebagai dasar penilaian perolehan suara termasuk kesahihan dokumen Form C1, karena beberapa sebab. Pertama, Situng tidak diperintahkan UU untuk diadakan. Kedua, Situng diadakan berdasarkan Peraturan KPU, dan disinilah masalahnya. Apa masalahnya? Peraturan ini jelas tidak masuk dalam kategori peraturan perundangan menurut pasal 7 ayat (1) UU Nomor 12 tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundangan. Tetapi itu tidak berarti PKPU tidak masuk kategori peraturan perundangan.
PKPU masuk dalam kategori peraturan perudangan pasal 8 ayat (1). Kekuatan mengikat peraturan-perundangan jenis ini ditentukan oleh dua keadaan hukum. Kedua hukum itu adalah Pertama diperintahkanpembentukannya oleh Peraturan yang lebih tinggi. Kedua, dibentuk berdasarkan kewenangan. Situng, jelas tidak diperintahkan oleh UU Nomor 7 tahun 2017, melainkan diperintahkan oleh PKPU. Makna hukumnya adalah keberadaan Situng merupakan wujud kebijakan KPU yang dituangkan dalam PKPU.
PKPU sama seperti peratruran lainnya yang sejenis dan atau sederajat dalam ilmu hukum administrasi menyandang sifat sebagai peraturan kebijakan, peraturan yang dibuat oleh Badan yang memiliki kewenangan untuk memberi dasar terhadap kebijakan, tindakan hukum berupa pengadaan Situng. Sebagaiperaturan kebijakan, maka Situng harus memenuhi tujuan yang ditetapkan dalam pasal 22 ayat (2) UU Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan. Tujuannya; a. melancarkan penyelenggaraan
pemerintahan; b. mengisi kekosongan hukum; c. memberikan kepastian hukum; dan d. mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan kepentingan umum.
Pada titik itu, keberadaan situng ini bermasalah. Apa masalahnya? Dari waktu ke waktu teridentifikasi oleh berbagai kalangan, dan diakui oleh KPU untuk beberapa bagian terjadi salah input. Maknanya data yang tersaji di dalamnya tidak memenuhi norma; untuk kepenmtingan umum. Pemenuhan norma penting ini, karena pasal 28F UUD 1945 mengharuskan, dalam sifatnya informasi yang disajikan organ-organ yang keberadaannya diperintahkan oleh
UUD atau UU harus memberi jaminan kepada masyarakat untuk dapat digunakan. Dalam kenyataannya, yang terjadi malah sebaliknya,menimbulkan ketidakpastian, untuk tak mengatakan kegaduhan yang dari waktu terus meluas.
Apa hukumnya? Hukumnya adalah kebijakan ini tidak memenuhi norma atau kaidah sebagai sebuah kebijakan, karena bertentangan dengan pasal 22 ayat (2) UU Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan. Konsekuensinya adalah kebijakan ini harus ditarik, dicabut. Pencabutan ini sama hukumnya dengan menghentikan semua kegaduhan yang sedang berlangsung, dan pencabutan ini bersifat imperatif.
Pencabutan ini, pada bagian lain sama dengan mengembalikan penyelenggaraan pemilihan umum sepenuhnya sesuai perintah UUD 1945, dan UU Nomor 7 Tahun 2017 Tenatng Pemilu. Penentuan perolehan suara pasangan calon presiden-wakil presiden didasarkan sepenuhnya pada hasil rekapitulasi suara secara berjenjang mulai dari tingkat Kecaatan hingga Nasional. Form C1 berhologram berikut berita acara rekpitulasi dari tingkat Kecamatan hingga Nasional menjadi satu-satunya dasar hukum penetapan perolehan suara pasangan capres-cawapres.
(*)