Kasus Jenazah Ditandu Jalan Kaki Kembali Terjadi di Lutra, Kali Ini di Rongkong yang Bikin HMRI Ikut Geram

MEDU-ONLINE | Menyikapi pemberitaan soal ketiadaan mobil jenazah di Kecamatan Rongkong seperti yang ramai di sosial media dan media online, Ketua Himpunan Mahasiswa Rongkong Indonesia (HMRI) Didit Permana ikut angkat bicara.

Ini setelah ungkapan salah seorang pemuda Rongkong, yakni Dodi Halfayat yang mengeluhkan soal mobil Ambulance Puskesmas yang tak bisa digunakan sebagai mobil jenazah dan terpaksa harus digotong atau ditandu sejauh 7 Km.

Bacaan Lainnya

Menurut Didit, seharusnya Pemerintah Kabupaten Luwu Utara mengeluarkan kebijakan yang bisa dijadikan solusi atas masalah ini.

“Berdasarkan Pasal 1 Angka 2 UU No. 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (“UU Pemda”), Pemerintahan Daerah adalah penyelenggara urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” ulasnya dalam press release yang diterima Tim Kabar Pagi Medu Online.

Masih lanjut dia, “kemudian berdasarkan Pasal 22 UU Pemda dalam menyelenggarakan otonomi, pemerintah daerah mempunyai kewajiban untuk menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan. Sehingga tidak ada lagi alasan pemerintah daerah, untuk tidak mengeluarkan kebijakan yang dapat menjadi solusi, karena itu sudah sesuai dengan UU soal jenazah ditandu jalan kaki tadi,” katanya.

HMRI, sambung Didit, secara tegas mempertanyakan, “apakah untuk penggunaan mobil Ambulans memang memerlukan lagi persyaratan khusus?,” tandasnya.

“Saya harap pemerintah daerah bisa secepatnya mengambil keputusan bahwa perlunya ada mobil ambulance khusus pengantar jenazah untuk Puskesmas-puskesmas di kecamatan Rongkong,” kuncinya.

Jenazah ditandu 7 Km karena tak dibolehkan memakai mobil Ambulans Puskesmas di Rongkong Luwu Utara (Foto: nasional.news)

Cerita Miris yang Berulangkali Terus Terjadi di Luwu Utara, Pemda Ngapain aja?

Sebelumnya dikabarkan, warga Dusun Manganan, Desa Rinding Allo, Kecamatan Rongkong, Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan, terpaksa memikul jenazah dari Puskesmas menuju dusun yang jaraknya kurang lebih 7 Km karena tidak ada layanan mobil jenazah yang dapat digunakan.

Seperti dilansir Nasional.news, salah satu warga dusun, Yayan Fahril, bercerita jika dirinya merasakan situasi dimana keluarga terkasihnya meninggal dunia di Puskesmas yang ada di Kecamatan Rongkong dan mirisnya dirinya tak bisa menggunakan mobil ambulance saat keluarga besarnya ingin mengantarkan jenazah neneknya tersebut ke kediamannya di dusun Manganan.

“Ambulance yang ada hanya boleh digunakan untuk kendaraan mengangkut orang sakit dan sama sekali tidak diperbolehkan membawa jenazah,” kata Yayan pada awak media, Selasa (19/10/2021) lalu.

Yang lebih memprihatinkan karena kasus serupa ini sering terjadi, tidak saja di Rongkong, tetapi juga di kecamatan lain seperti Rampi, hingga Seko.

Dodi Alfayat, warga Desa Rinding Allo bilang, “persoalan memikul jenazah  dari rumah atau puskesmas bukan hal baru bagi masyarakat yang ada di tanah Rongkong. Ini sudah terjadi selama bertahun-tahun,” tuturnya.

Salah satu Petugas medis yang ada di Puskesmas Rongkong mengaku sudah 2 tahun belakangan ini pihak Puskesmas mengajukan pengadaan mobil khusus jenazah ke Pemerintah Daerah Luwu Utara, tetapi sampai kini belum juga ada respon.

Kisah Sama Terjadi di Rampi, Menyayat Kalbu

Kejadian serupa juga pernah terjadi di Rampi pada Kamis 7 Februari 2019 dimana saat itu, jenazah warga ditandu dari Masamba Luwu Utara Sulsel, ke kecamatan Rampi harus melewati Lore Poso. Sulawesi Tengah sejauh 60 Km. Jenazah Renti Tenta ditandu menuju Desa Tedeboe Rampi, dimana warga harus berjalan kaki selama 18 jam menyusuri hutan belantara.

Jenazah warga Rampi itu terpaksa harus digotong karena tak mampu membayar sewa pesawat.

Renti meninggal dunia di RSUD Andi Djemma Masamba pada Kamis 7 Februari 2019.

Keluarga awalnya ingin membawa jenazah Renti ke Rampi menggunakan pesawat perintis dari Bandara Andi Djemma Masamba.

“Tapi tarifnya sangat mahal, Rp 50 juta. Di mana kita mau ambil uang,” ujar Frans dilansir Medu Online dari Tribun News.

Soal gotong-menggotong mayat bukanlah hal pertama yang dilakukan oleh warga Rampi.

Desember 2017 lalu, warga Desa Onondowa, Rampi, juga bahu membahu menandu jenazah keluarga sejauh 36 kilometer.

Jenazah Mesak Wungko juga digotong dari wilayah Lore usai meninggal dunia di Masamba. (*)

Pos terkait