Amat Memprihatinkan, Nasib Pendidikan di Luwu

BELOPA – Rosalina Pasumbungan, guru berstatus sukarela, tetap semangat meski diupah Rp 300 ribu per bulan. Dengan gaji kecil, Rosalina harus mengajar 20 orang siswa Sekolah Dasar di Desa Pabatang yang berjarak 8 kilometer dari Kecamatan Bua.

Kondisi sekolah tempatnya mengajar juga cukup memprihatinkan. Gedung sekolah berukuran 7×9 meter itu terbuat dari papan kayu yang sudah lapuk dan beralaskan tanah.

Bacaan Lainnya
Untungnya, atap bangunan sekolah yang dibangun secara swadaya ini, sudah menggunakan seng, sehingga siswa tidak kehujanan atau kepanasan saat belajar. Tidak ada kantor, apalagi kantin sekolah.

Meski mengajar dalam kondisi serba kekurangan, Rosalina tak pernah mengeluh. Padahal setiap hari, dia harus mengajar puluhan siswa dari kelas I hingga kelas VI secara bersamaan.

“Jarak dari rumah ke sekolah sekitar 1 kilometer, dan menanjak,” kata Rosalina, tulis SulselSatu.

Matanya memerah dan berkaca-kaca, saat ia menceritakan gaji yang diterimanya. Upah Rp 300 ribu per bulan tidak bisa langsung dia terima, harus menunggu hingga tiga bulan.

“Ya dibayar per semester. Sekali gajian, langsung habis untuk membeli kebutuhan sehari-hari,” ucapnya.

Rosalina hanya seorang diri mengajar di SDN 573 Pabatang. Guru-guru dari sekolah induk, tidak bisa setiap hari ikut membantu mengajar, karena jarak yang cukup jauh.

Dia harus bisa berbagi waktu antara tugas mengajar dan mengurus rumah tangga.

Sepulang mengajar, Rosalina masih harus berkeliling kebunnya mencari sayur, untuk makan siang keluarganya. Tidak ada ikan apalagi daging. Setiap hari, hanya menyediakan sayur daun singkong dan cabe, sebagai lauk untuk makan nasi.

Jika sedang punya duit, Rosalina membeli mie instan agar makanannya lebih bervariasi.

“Anak-anak dan suami saya sudah biasa pak. Mereka tidak pernah mengeluh, karena paham gaji saya sebagai guru sukarela tidak seberapa,” tuturnya.

Pither, warga Pabatang, mengakui SDN 573 Pabatang dibangun sejak tahun 2003. Sekolah itu dibangun atas inisiatif warga karena banyak anak-anak yang tidak sekolah disebabkan sekolah mereka cukup jauh dari rumah dan harus melewati hutan belantara.

“Kami gotong royong membuat papan, beli atap seng dan mendirikan sekolah. Tanahnya juga sudah milik sekolah dan sampai sekarang belum pernah sekalipun ada bantuan pemerintah,” kata Pither.(SS/*)

Pos terkait