Gonjang ganjing isu kotak kosong di Pilkada Palopo 2018 agaknya bukan isapan jempol semata. Dari 25 kursi di DPRD Palopo, 23 kursi konon sudah diraup calon petahana Judas Amir (JA).
Ironisnya, partai politik (parpol) sebagai mesin pencetak calon pemimpin sudah dianggap ‘mati suri’, karena tak satupun diantara petinggi parpol yang berani muncul ke permukaan. Elit parpol di Kota Palopo baru sekedar punya nyali hanya sampai di persoalan pasang memasang baliho. Itu pun masih ada yang modalnya cekak, baliho seupil dipaku di pohon.
Kurang populernya tokoh-tokoh parpol di Kota Palopo menandakan bahwa mereka sibuk mengurusi diri sendiri dan juga kelompok bisnisnya. Maklum, sebagian besar legislator saat ini di Indonesia adalah pebisnis. Sangat langka atau jarang terlihat kader dari parpol yang mau mengambil inisiatif sendiri, keluar dari kotak konvensional alias out of the box untuk bertindak dan turun langsung ke tengah masyarakat, memantau denyut nadi kehidupan rakyat di luar protokoler dan formalitas verbal.
Indikasi rendahnya akseptabilitas petinggi dan kader Parpol di Kota Idaman ini terlihat jelas dari hasil beberapa lembaga survei. Dari 25 kursi di parlemen Kota Palopo, tak satupun kader parpol yang menonjol. Survei dan elektabilitas mereka rata-rata bukan saja buruk tapi sangat jelek.
Membaca angka elektabilitas dari dua lembaga survei menunjukkan, jika mereka masih berkutat di angka ‘nol koma sekian persen’ yang artinya, sekali lagi, sangat rendah dan jauh dari harapan.
Sesungguhnya, ini hal yang tak masuk akal, karena sejak dilantik 2014 seharusnya mereka sudah menanam ‘investasi’ kebaikan di tengah masyarakat. Apalagi bagi legislator yang sudah ‘karatan’ beberapa periode duduk di kursi empuk DPRD. Anggota dewan yang terhormat ini harusnya bergerak lincah menemui konstituennya, tidak sekedar formalitas di acara reses yang dibiayai negara. Atau jangan-jangan mereka memang doyan yang serba ‘gratisan’? Aha!
Mereka, para kader parpol itu, bisa kapan saja dan dimana saja mereka mau, untuk turba merekam nasib warganya, benarkah diatas kertas hidup si jelata sudah semakin baik atau sekedar berita manis di layar koran online dan pemberitaan selama ini?
Sebagai tokoh yang masuk dalam bagian penentu kebijakan, seharusnya 25 anggota DPRD ini ada satu atau beberapa yang bisa jadi harapan masyarakat untuk ikut maju ke bursa pemilihan kepala daerah (Pilkada). Tapi apa lacur, kerja-kerja formal di dalam gedung mewah ber AC dan dengan fasiltas yang lebih dari memadai tidak membuat besar nama para elit-elit politik di gedung wakil rakyat itu. Mereka cenderung kaku dan terkungkung oleh formalistik belaka. Tak ada yang menonjol baik soal prestasi, kinerja atau bahkan berani tidak populer dengan melawan kebijakan yang dianggap pemborosan uang rakyat.
Alih-alih membela rakyat, para anggota dewan ini malah sibuk berkompromi dan meloloskan kegiatan eksekutif yang terkesan penghamburan dana dan sekedar untuk ‘biaya pencitraan’. Yang paling menonjol adalah kasus beberapa jenis usaha di Perusda yang dicap buruk sejak perencanaan hingga eksekusi di lapangan. Walhasil, belum nampak Zaro alias untung dari usaha yang sejatinya bisa membangkitkan UKM itu. Yang ada malah rugi dan terus merugi.
Kembali ke soal akseptabilitas kader parpol. Dampak dari elektabilitas yang rendah, dan bulatnya suara parpol berkumpul di satu kubu tertentu, membuat isu kartel dan kapitalisasi politik menjadi sulit dibantahkan. Hingga hari ini, masih banyak parpol yang menjadikan demokrasi sebagai ajang ‘kelinci percobaan’. Mereka agaknya bebal, buta serta tuli dari realitas di tengah masyarakat bahwa demokrasi bukan barang mainan apalagi dagangan.
Hubungan simbiosis mutualisme antara kekuasaan dan para politisi memperparah keadaan apalagi parpol saat ini masih mengemis dana operasional dari negara, yang dihaluskan dengan bahasa ‘biaya pendidikan politik’ atau untuk pemberdayaan politik rakyat. Kedengarannya asyik bukan?
Di satu sisi, kegagalan parpol mengkader anggotanya untuk menjadi calon pemimpin, akan menumpuk menjadi kekecewaan publik manakala ruang-ruang partisipasi dari beberapa figur potensial untuk bertarung di Pilkada sudah ditutup hanya karena dianggap ‘kere’. Dan cuma dibukakan “pintu maaf” bahwa partai kami sudah ada yang punya, yakni seorang figur yang konon elektabilitasnya menyentuh langit, pembawa perubahan kota Palopo dengan segudang kertas penghargaan, piala dan prestasi, dia tak tersaingi, bla…bla…bla…
Tak ada jalan lain bagi figur potensial yang elektabilitasnya terbilang masih tinggi, karena ruang hampa demokrasi berhasil mereka (baca: parpol) ciptakan. Sementara ruang melalui pintu lain yakni calon perseorangan pun memiliki kendala teknis, manakala tata kelola data kependudukan di Palopo yang diakui sendiri oleh Asisten I Burhan Nurdin, yang katanya masih karut marut dan amburadul tidak karu-karuan sehingga harus diambil alih pucuk pimpinan. Wallahu ‘alam.(*)