Pemilihan Kepala Daerah Serentak di 171 Daerah se Indonesia kini sudah memasuki tahapan Penetapan oleh Komisi Pemilihan Umum, pada 12 Februari, setelah hari ini masuk pada tahapan Pengundian Nomor Urut Pasangan Calon (Paslon) 13 Februari, tahapan kampanye mulai tanggal 15, debat dan seterusnya, dan seterusnya.
Namun, dari sekian banyak waktu yang telah terbuang, tontonan drama paling banyak menghiasi layar kaca televisi dan layar kaca gadget, perangkat elektronik kita. Pilkada masih berkutat pada wilayah remang-remang soal bobot, bibit dan bebet sang calon yang mau kita ‘tusuk’ pada 27 Juni 2018 mendatang.
Kebanyakan di layar ‘barang-barang’ tadi hanya pada persoalan ketemuan figur-figur pasangan calon dengan tokoh-tokoh atau yang lebih keren disebut konsolidasi. Ketika si Anu ketemu si Ani, misalnya, lebih banyak membahas soal lembaganya atau figurnya, ketimbang membahas soal program apa yang akan dilakukan sang calon.
Walhasil, kita lebih banyak menonton drama Korea, dengan cipika cipiki dan kadang-kadang mendapat bonus “air mata buaya” sang calon. Masyarakat butuh penjelasan tentang kemampuan personal sang calon dengan rekam jejak yang mumpuni dan bisa dibanggakan, bukan sekedar pandai pidato berbusa-busa menghabiskan durasi, tetapi lebih dari itu, masyarakat juga butuh pencerahan atas kendala dan masalah yang tengah dihadapi rakyat saat ini.
“Rakyat endak butuh airmata, rakyat ingin tahu, apa yang si Anu kerjakan bersama si Ani ketika diberi amanah untuk mensejahterakan rakyat,” ujar seorang bapak berwajah legam, yang setiap hari menyusuri kota Palopo menjual siomay, saat kami temui beberapa waktu lalu.
Keriput di kerut kening sang bapak menyiratkan dirinya masih butuh diayomi sebagai warga miskin, butuh lebih ditingkatkan kesejahteraan demi lima anaknya yang masih kecil, yang harus ia nafkahi. Cukupkah penghasilan 20 ribu hingga 50 ribu sehari untuk makan minum ia bertujuh dengan sang istri di rumahnya?
Alih-alih memikirkan nasib rakyat, figur kontestan Pilkada saat ini lebih disibuki soal target-target suara per TPS. Soal pembagian tugas di kantong-kantong suara yang harus direbut. Mereka sibuk mengatur taktik busuk agar sang rival tersandung berbagai kasus, supaya elektabilitas bisa terkatrol, dan aneka kesibukan lain yang endak ada sama sekali hubungan dengan masalah bagaimana memikirkan nasib rakyat ke depan. Mereka tidak saja gagal menjual ide dan gagasan untuk bisa berkuasa, tapi nyaris tidak cerdas dan jauh dari kesan amanah selain soal umur yang katanya masih muda bin enerjik. Ehemmm….
Di sisi lain, penyelenggara pemilihan umum kepala daerah atau Pilkada lebih banyak menjadikan faktor regulasi sebagai alasan kaku untuk sedikit berpikir maju dan konservatif. Apalagi saat verifikasi faktual syarat dukungan, PPS di lapangan masih saja ada yang kelimpungan mengejar target waktu yang dibebankan, dan hasilnya, banyak calon perseorangan di Pilkada Serentak 2018 yang terpaksa harus menelan ludah karena warga pendukungnya selain diancam supaya calon yang ia dukung tidak bisa lolos oleh oknum jahat yang ditengarai ikut menjadi simpatisan kandidat tertentu, juga akibat regulasi yang berubah ditengah jalan, dan tidak siapnya penyelenggara Pilkada mengantisipasi tenggat waktu yang lebih mirip sistem ‘kejar setoran’. Dampaknya, kualitas verifikasi faktual selain buruk, dari segi kuantitas juga jauh dari target rata-rata sekitar 50 hingga 60% jumlah berkas syarat dukungan yang diajukan oleh calon perseorangan.
Cukuplah drama-drama Pilkada ini sampai disini. Kita tentu ingin Pilkada tidak saja transparan dan terbuka tetapi lebih akseptabel dan nilainya lebih berkualitas dengan stock figur hasil negosiasi parpol tersebut. Sehingga praktis rakyat endak punya pilihan lain, selain harus benar-benar menyesuaikan antara selera parpol dan selera masyarakat, kita diberi pilihan terbatas dengan hitungan waktu yang terus bergerak cepat.
Terakhir, harapan semua pihak yang ingin melihat calonnya terpilih dalam bilik suara harus dilewati dengan suasana kebatinan yang penuh suka cita, jauh dari kesan intimidasi, rekayasa dan saling tebar kebencian, karena sesungguhnya hakikat pesta demokrasi adalah kebersamaan, silaturahmi yang tetap terjaga meskipun faktanya kita mungkin berbeda pilihan, namun kedewasaan dan kematangan berpolitik masyarakat akan tumbuh jika penyelenggaranya becus melakukan tugasnya, dan rakyat juga menjaga suasana aman dan kondusif tidak malah ikut memantik api dengan negative campaign atau black campaign yang bisa menderai kebersamaan yang ingin kita bangun. Salam Redaksi!!!
(*)
EDITORIAL Ini bisa anda baca di edisi cetak Koran Media Duta Express