Garuda Diduga Manipulasi Laporan Keuangan, Bagaimana Pengawasan Rini?

JAKARTA — Laporan keuangan PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) 2018 sedang jadi sorotan. Perolehan laba bersih perusahaan dianggap janggal.

Pada 2018 GIAA mencatatkan laba bersih US$ 809,85 ribu atau setara Rp 11,33 miliar (kurs Rp 14.000). Laba itu berkat melambungnya pendapatan usaha lainnya yang totalnya mencapai US$ 306,88 juta.

Ternyata ada dua komisaris yang enggan menandatangani laporan keuangan itu. Mereka merasa keberatan dengan pengakuan pendapatan atas transaksi Perjanjian Kerja Sama Penyediaan Layanan Konektivitas Dalam Penerbangan, antara PT Mahata Aero Teknologi dan PT Citilink Indonesia.

Pengakuan itu dianggap tidak sesuai dengan kaidah Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) nomor 23.

Sebab manajemen Garuda Indonesia mengakui pendapatan dari Mahata sebesar US$ 239.940.000, yang diantaranya sebesar US$ 28.000.000 merupakan bagian dari bagi hasil yang didapat dari PT Sriwijaya Air. Padahal uang itu masih dalam bentuk piutang, namun diakui perusahaan masuk dalam pendapatan.

Namun pemegang saham terbesar yakni Pemerintah berpandangan sebaliknya. Mereka menyetujui laporan keuangan tersebut.

Menurut Ekonom Indef Enny Sri Hartati apa yang dilakukan Garuda Indonesia termasuk manipulasi penyajian laporan keuangan. Jika terungkap maka akan merusak citra perusahaan.

“Itu namanya manipulasi pelaporan. Kan piutang artinya pendapatan belum tertagih. Jadi piutang tetap piutang,” ujarnya kepada detikFinance, Kamis (25/4/2019).

Sebagai pemegang saham terbesar, sudah seharusnya pemerintah melakukan pengawasan melalui komisaris yang ditempatkan. Enny mempertanyakan sikap komisaris perwakilan dari pemerintah di GIAA.

“Ada apa? Pertanyaannya kok bisa begitu. Yang bisa menjawab ya pemegang saham terbesar,” tambahnya.

Garuda Indonesia, lanjut Enny, sebagai perusahaan yang tercatat di pasar modal seharusnya sadar untuk melakukan hal-hal yang terbuka. Konsekuensinya jika melakukan hal yang tidak transparan akan mengurangi kepercayaan publik.

“Sebenarnya kenapa BUMN kita dorong go public supaya tata kelolanya lebih transparan. Sehingga sebenarnya membantu direksi untuk tidak terlalu ada tekanan kepentingan politik,” tutupnya.

(*)

Sumber

Pos terkait