JAKARTA — Guna terjaminnya penekanan dan menurunnya kasus korupsi di Indonesia, guna memberi epek jerah bagi pelaku, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuka peluang menerapkan hukuman mati terhadap tersangka kasus dugaan suap sejumlah proyek .
Keseriusan anti rasua (KPK) membuka peluang lembaga ini akan menerapkan hukuman mati. Dan kemungkinan besar diawali dalam penanganan kasus di Kementeriaan Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (KemenPUPR) terkait pembangunan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) tahun anggaran 2017-2018.
Pasalnya terdapat proyek KemenPUPR yang dikorupsi, berkaitan dengan daerah bencana di Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah. Proyek tersebut diduga berkaitan dengan pengadaan pipa HDPE untuk Palu dan Donggala.
Guna menerapkan hukuman mati ini diakui Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang bahwa pihaknya sedang mendalami penerapan hukuman mati dalam kasus ini.
Menurut Saut Situmorang, penerapan hukuman mati yang termasuk dalam Pasal 2 Undang-Undang Tipikor, dapat digunakan jika para tersangka terbukti melakukan korupsi bantuan bencana.
Mobil dan Rumah Disita
Dalam penyidikan kasus suap proyek air minum (diperuntukkan) daerah Gempa / Tsunami, KPK gini melakukan penyitaan Mobil dan Rumah dari Tersangka Suap Proyek Air Minum KemenPUPR.
Selain penyitaan tadi KPK juga sudah menahan tersangka termasuk pasangan Suami-Istri hang diduga Penyuap Pejabat KemenPUPR.
Dalam penerapan proses hukuman ini sudah jelas diatur , ” Kalau menurut dijelaskan Pasal 2 (UU Tipikor), itu kan bisa dihukum mati, kalau korupsinya menyengsarakan orang banyak,” tegas Saut di kantornya, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Minggu (30/12/2018) .
Pidana mati sendiri tertuang dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Hukuman pidana mati merupakan terusan dari Pasal 2 ayat 1 tentang perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi sehingga mengakibatkan kerugian negara dalam pengadaan barang/jasa.
Secara utuh, Pasal 2 ayat 2 berbunyi, “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.”
Pada penjelasan Pasal 2 ayat 2 tertuang bahwa yang dimaksud dengan keadaan tertentu dalam ketentuan tersebut dimaksudkan sebagai pemberatan pelaku tipikor apabila korupsinya dilakukan dengan empat syarat. Pertama, pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan UU yang berlaku.
Kedua, pada waktu terjadi bencana alam nasional. Ketiga, sebagai pengulangan tipikor (perbuatan korupsi dilakukan berulang-ulang). Keempat, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.
“Ya kalau lihat dari uu paling atas ini, kalau bicara, minimal ada kaitan dengan putusan MK, segala macam tentang sumber daya alam, air, menjadi hal yang penting dari bagian kita, diambil oleh pemerintah untuk menangungjawab mengurusi itu,” tambah Saut.
Iya menambahkan, korupsi terkait bencana dapat diterapkan pidana mati berdasarkan salah satu syarat dalam Pasal 2 ayat (2). Namun, sambung Saut, pihaknya masih mendalami penerapan hukuman mati terkait kasus ini.
“Bagaimana ini bisa di korupsi bahkan ada didaerah yang masih bencana, kita lihat dulu, apakah masuk kategori pasal 2 yang korupsi bencana alam yang menyengsarakan hidup orang banyak itu kalau menurut penjelasan pasal 2, itu kan,” kunci Saut Situmorang.(KPK/JNN/NAS)