Seorang terduga maling ponsel menjerit-jerit ketika diinterogasi. Di lehernya ada ular yang dililitkan oleh polisi.
Polres Jayawijaya menginterogasi terduga pencuri telepon seluler dengan cara tidak manusiawi: membelitkan ular di leher terduga pelaku. Video ini diunggah berkali-kali di sosial media.
Al Jazeera English pun turut serta. Mereka menayangkannya di akun resmi di Facebook.
Lihat videonya disini
Terduga pelaku, yang mengenakan baju merah, sangat ketakutan. Dia teriak berkali-kali dan menangis. Pada saat yang sama seorang polisi berpakaian sipil menghardik dan bertanya untuk mendapatkan pengakuan.
“Cium ini ular!” bentaknya. “Makanya kamu mengaku cepat. Sudah berapa kali [maling]?” teriak polisi, dan dibalas dengan rintihan terduga pelaku.
Ditulis Tirto.id, Ular hitam tersebut jelas hidup. Tapi Karopenmas Polri Brigjen Dedi Prasetyo berkilah dengan mengatakan itu “ular karet.” Ular karet tentu tak akan membikin orang dewasa takut hingga menjerit-jerit.
Interogasi berlebihan ini dikritik Amnesty International, LSM yang fokus menyoroti kasus-kasus kekerasan dan penyiksaan. Papang Hidayat, peneliti dari Amnesty International Indonesia, mengatakan apa yang dilakukan polisi termasuk dalam kategori penyiksaan, dan itu bisa dihukum.
“Yang dilakukan anggota polisi Papua bisa dianggap penyiksaan. Meski tidak menyakiti fisik, tapi menyerang mental terduga pelaku sehingga menimbulkan rasa sakit,” ucap Papang ketika dihubungi, Rabu (13/2/2019). “Pelaku penyiksaan harus diadili secara independen. Pelaku dapat dipidana.”
Ada beberapa pelanggaran yang dilakukan polisi tersebut. Pertama, pelanggaran terhadap Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakukan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia yang telah diratifikasi lewat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998.
Dalam konvensi tersebut, penyiksaan dan sejenisnya dilarang, dan tanpa pengecualian, “baik dalam keadaan perang, ketidakstabilan politik dalam negeri, maupun keadaan darurat lainnya.” (Bab IV, Pokok-Pokok Isi Konvensi).
Selain Konvensi Menentang Penyiksaan, kata Papang, cara menginterogasi seperti juga juga menyalahi Peraturan Kapolri (Perkap).
Dalam Pasal 11 ayat (1) huruf b Perkap Nomor 8 Tahun 2009 disebutkan: “Setiap petugas/anggota Polri dilarang melakukan penyiksaan tahanan atau terhadap orang yang disangka terlibat dalam kejahatan.”
Polisi juga melanggar Pasal 13 ayat (1) huruf a perkap yang sama yang berbunyi: “Dalam melaksanakan kegiatan penyelidikan, setiap petugas Polri dilarang melakukan intimidasi, ancaman, siksaan fisik, psikis ataupun seksual untuk mendapatkan informasi, keterangan atau pengakuan.”
Dengan intimidasi sedemikian besar, sangat mungkin apa yang keluar dari mulut terduga pelaku bukan yang sebenarnya, termasuk jika misalnya dia ‘mengakui’ kalau pencurian benar terjadi.
“Bisa tidak melakukan [kejahatan], tapi karena ketakutan disiksa, ia berbohong,” kata Papang.
Si terduga maling memang mengaku kalau dia bersalah. Setidaknya begitu menurut Kabid Humas Polda Papua Kombes Ahmad Mustofa Kamal.
“Iya [mengaku maling],” kata Kamal seperti dilansir Tirto.id.
Beda dengan keterangan Karopenmas Mabes Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo, Kamal membenarkan kalau itu memang ular sungguhan, tapi dia jinak dan tak berbisa. Dia juga mengatakan intimidasi ini adalah “inisiatif anggota” agar mendapat pengakuan dalam waktu singkat.
Meski demikian, Kamal bilang apa yang dilakukan polisi itu mungkin salah. Oleh karena itu kasus ini tengah diusut Divisi Profesi dan Pengamanan (Div. Propam) Polda Papua.
“Kepada personel yang bersangkutan sudah dilakukan pemeriksaan dan jika dia terbukti melanggar akan diproses sesuai dengan Peraturan Disiplin Anggota Polri atau Kode Etik Profesi,” klaimnya.
Bukan Kali Pertama
Tidak hanya di Papua, pada 15 Januari 2018, DR, anggota Polres Bojonegoro, ditahan karena menginterogasi anak di bawah umur dengan kekerasan. Dalam video yang beredar, DR juga menawarkan rokok dan miras kepada si anak.
Kemudian, pada 14 Agustus 2017, tersangka pencurian, SH (35), diduga disiksa penyidik Polres Gianyar saat diinterogasi. Selain dipukul, SH juga bilang kalau alat kelaminnya diteteskan plastik yang dibakar.
Dua tahun sebelumnya, pada 26 Juni 2015, Ismail mengaku disiksa dengan berbagai macam metode ketika diinterogasi polisi di Polres Jakarta Selatan terkait pencurian uang Rp200 juta di ATM. Dia kemudian mengadu ke LBH Jakarta.
Pada 1 Juli 2015, Ismail bertemu dengan Kapolri di acara Mata Najwa. Ketika itu Kapolri berjanji akan menuntaskan kasus itu.(Tirto/*)