Oleh: Lukman Hamarong *)
“Si anjing liar dari Jogjakarta. Apa kabarmu. Ku rindu gonggongmu yang keras hantam cadas. Di mana kini kau berada. Tetapkah nyaring suaramu. Di mana runcing kokoh paruhmu.
Tetapkah angkuhmu hadang keruh.” Ini bukan puisi, tapi lirik sebuah lagu yang berjudul Willy. Saya yakin, yang lahir di akhir 1970-an dan awal 1980-an pasti tahu pemilik lagu ini. Lagu ini dirilis pada 1986 bersamaan dengan diluncurkannya album “Ethiopia”. Lagu ini adalah ungkapan kekaguman Virgiawan Listanto terhadap Willy yang tak lain adalah WS. Rendra, seorang penyair besar negeri ini.
Rendra yang bernama lengkap Willibrordus Surendra Broto Rendra lahir pada 1953, dan meninggal pada 2009. Apa warisan terbesar Willy untuk republik ini? Adalah karya-karyanya yang sudah sangat dikenal, bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di luar negeri. Ia meninggalkan karya yang tidak lekang oleh ruang dan waktu. Akan selalu dikenang dan menjadi inspirasi banyak orang. Ini juga yang membuat Iwan Fals, nama panggung Virgiawan Listanto, menulis sebuah lagu untuk WS Rendra dengan judul “Willy”. Dua orang yang dikenal sebagai “kritikus” orde baru ini memang bersahabat, tapi berbeda profesi. Satunya musisi, satunya lagi seorang penyair, sekaligus sutradara teater.
Meski sudah wafat di usia 73 tahun, tapi namanya akan selalu dikenang. Namanya harum semerbak dan selalu ada di hati orang-orang yang senang akan sastra. Si Burung Merak, julukan lain Rendra, adalah satu dari sedikit manusia di Indonesia yang dianugerahi keberanian, talenta dan semangat untuk terus setia sampai mati pada bakat dan prinsip yang ia miliki. Salah satu statement Rendra yang saya kutip dari laman www.biografiku.com, yang menggambarkan bahwa ia sosok yang kuat memegang prinsip adalah: ”Saya bisa langsung beribadah kepada Allah tanpa memerlukan pertolongan orang lain, sehingga saya merasa hak individu saya dihargai. Allah lebih dekat dari urat leher seseorang.” Dialah Willy-nya Indonesia yang namanya akan selalu harum dengan karya-karyanya.
Lantas siapa Willy berikutnya? Willy yang satu ini ada di belahan bumi yang lain, tepatnya di America. Dialah Willy Caballero (37), seorang pesepak bola berkebangsaan Argentina, negara sepak bola yang telah banyak melahirkan bintang, seperti Maradona dan Messi. Meski demikian, bintang terang Maradona dan Messi tidak seterang Willy. Bahkan kalau kita mau jujur, Willy yang satu ini selalu dalam kegelapan. Berprofesi sebagai pengawal gawang, Willy acapkali kali membuat blunder yang berujung gol untuk lawan. “Bakatnya” ini sudah tercium dan terbaca saat mengawal gawang Manchester City. Catatan minor ini rupanya tidak diindahkan pelatih. CV yang jeblok bukan menjadi rujukan utama. Ia tetap dipercaya sebagai kiper utama Argentina di Piala Dunia 2018, menyusul cederanya kiper nomor satu Argentina, Sergio Romero.
Apa yang terjadi kemudian? Dua laga Argentina di fase grup D dilalui dengan sempoyongan. Seri 1-1 kontra Islandia ibarat sebuah kekalahan. Dan kekalahan yang sesungguhnya adalah kekalahan saat dibantai Kroasia tiga gol tanpa balas. Hancur lebur, kolaps, dan bayang-bayang angkat koper lebih dulu semakin nyata. Padahal Runner Up piala dunia edisi sebelumnya ini membawa nama-nama beken sekaliber Messi, Aguero, Dybala dan Higuain. Meski Tim Tango diperkuat para penyerang “sadis”, tapi apa yang bisa diharapkan dengan kekuatan pertahanan yang tidak mumpuni, termasuk di posisi vital, penjaga gawang. Argentina timpang, kedalaman skuat tidak merata, plus Willy yang betul-betul bikin gregetan. Blundernya di babak kedua berujung malapetaka. Argentina kolaps dengan gelontoran gol-gol Rebic, Rakitic, dan Modric.
Sepak bola memang permainan tim, tapi kualitas individu pemain juga sangat menentukan, dan kualitas Willy benar-benar di bawah standar untuk bermain di event akbar sekelas Piala Dunia. Apa boleh buat, singkong sudah menjadi tape. Willy-nya Argentina (37) tidak seharum Willy-nya Indonesia (73). Willy Caballero akan dikenang sebagai kiper minor yang dimiliki Argentina. Meskipun begitu, Argentina masih punya harapan lolos. Sekecil apapun peluang itu, jangan pernah berhenti berharap. Harapan adalah kemampuan melihat setitik cahaya di kegelapan. Dan jika Argentina menemukan cahaya itu, harapan untuk keluar dari kegelapan masih ada. Bravo Argentina, negara keduaku di dunia sepak bola. Untuk menghibur hati ini, izinkan saya merubah sedikit lirik di atas menjadi: “Si Messi liar dari Argentina. Apa kabarmu. Ku rindu gol-golmu yang keras hantam gawang. Di mana kini kau berada. Tetapkah indah liukanmu. Di mana visi permainanmu. Tetapkah dribble-mu hadang keruh.
*) Penulis adalah pengamat olahraga tinggal di Palopo