Semarak pelaksanaan pilkada serentak gelombang ke 3 tahun 2018 yang dilaksanakan di 171 daerah dengan rincian 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten yang akan menyelenggarakan Pilkada semakin hari semakin terasa, KPU dan jajarannnya telah berada pada tahapan pencalonan jalur perseorangan. Tahapan ini dimulai sejak penyerahan dokumen dukungan kepada KPU pada daerah yang terdapat calon perseorangan mengajukan dukungannya.
Dalam pelaksanaan tahapan tersebut berbagai pemberitaan mewarnainya dengan ragam cara dan perspektif, ada yang kental framing ideologinya, objektifitasnya dan tentu ada juga yang subjektif bahkan kelewat subjektif utamanya dalam menilai penyelenggara dan penyelenggaran tahapan yang berlangsung. Yang kelewat subjektif dapat dilihat pada sebuah judul pemberitaan disebuah media online yang begitu mudah dishare ke berbagai media sosial, meskipun ketika membaca isi (konten) beritanya, menurut penulis yang adalah semacam keluhan dari TIM bakal pasangan calon atas sebuah kebijakan penyelenggara yaitu KPU Kota Palopo terkait dengan keinginan TIM untuk ikut “mendampingi” Panitia Pemungutan Suara (PPS) melaksanakan verifikasi faktual yang oleh KPU Kota Palopo mengambil kebijakan dengan mengatur “jarak” Tim tersebut dengan PPS.
Kebijakan ini diambil dengan pertimbangan. Pertama, KPU Kota Palopo memandang pelaksaan verifikasi faktual oleh PPS harus berjalan kondusif, sehingga sejak awal perlu meminimalisir potensi yang dapat mengganggu jalannya verifikasi. Kedua, upaya melindungi PPS dari tiga hal sekaligus, intervensi, intimidasi dan godaan yang dapat merusak independensi dan kejujuran penyelanggara. Dan yang ketiga adalah upaya menghargai dan menjunjung tinggi keberadaan panwaslu Kota Palopo sebagai badan pengawas pilkada yang salah satu tugas pokonya melakukan pengawasan atas semua tahapan yang berlangsung, sehingga keinginan tim bapaslon “mendampingi” tidak lagi ditemukan relevansinya.
Penjelasan ini sungguh sangat penting dan prinsipil karena berbagai pemberitaan tersebut sungguh jauh dari keadaan objektif dan terkesan menyudutkan. jauh dari keadaan objektif karena sejak awal proses verifikasi faktual berlangsung sungguh-sungguh transparan dan dapat diawasi oleh masyarakat umum termasuk media massa, bahkan baru-baru ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI menduduki Peringkat I, dengan persentase nilai keterbukaan informasi mencapai 98,22 persen, sebuah capaian nilai yang hampir sempurna.
Nilai ini adalah peringkat tertinggi nilai rata-rata keterbukaan informasi dari 156 Badan Publik (BP) lainnya yang mengembalikan Self-Assessment Questioner (SAQ). Capian ini tidak terlepas dari kinerja KPU Daerah dalam menopang pencapian tersebut. Bahkan KPU Kota Palopo meminta kepada PPS agar tidak melaksanakan verifikasi faktual tanpa didampingi oleh Panwaslu. Adapaun kesan menyudutkan bahwa pihak penyelenggaralah tidak netral sehingga merugikan bapaslon, duh…padahal di beberapa kesempatan kami meminta agar menyampaikan kepada Panwaslu Kota Palopo atau kepada KPU Kota Palopo jika dalam masa verifikasi ditemukan ada penyimpangan yang dilakukan baik oleh PPS, PPK, maupun KPU Kota Palopo.
Perlu diingat bahwa di Kota Palopo selain dukungan bakal pasangan calon (bapaslon) perseorangan Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi selatan juga terdapat dukungan bapaslon Walikota dan Wakil Walikota Palopo yang masa verifikasi faktualnya dilaksanakan pada waktu yang bersamaan. Untuk LO bapaslon Walikota dan wakil Walikota sampai detik ini KPU Kota Palopo dan jajarannya sejak tahapan verifikasi faktual berlangsung belum pernah mendapat complaint, sanggahan, bantahan, atau semacam keberatan atas proses verifikasi faktual yang dilaksanakan oleh PPS padahal perlakuan terhadap kedua bapaslon tersebut berlangsung sama, setara, adil, dan transparan.
Perlu dijelaskan bahwa penyelenggara dan penyelenggaraan pilkada di Indonesia semakin baik dan terkonsolidasi. Konsolidasi kelembagaannya dapat dilihat dengan semakin baiknya seluruh regulasi yang mengatur setiap tahapan maupun “terlibatnya” KPU RI sebagai penanggungjawab akhir dalam pelaksanaan pilkada yang dalam pelaksanaan pilkada-pilkada sebelumnya KPU Daerah lebih otonom sehingga banyak menimbulkan permasalahan. Keterlibatan KPU RI dalam pelaksaan pilkada sekaligus berfungsi sebagai “pengawas internal”. pengawasan internal ini menjadi jangkar dalam melaksanakan pilkada untuk menjamin bahwa seluruh kegiatan dalam tahapan berjalan sesuai koridor hukum dan prinsip-prinsip pilkada yang jujur, adil, transparan, objektif, independen, imparsial, dan berintegritas. untaian nilai-nilai inilah menjadi fundamen pokok bagi penyelenggara dalam bertindak dan berprilaku.
Agar prilaku penyelenggara terjaga dari sikap-sikap yang tercela maka dibentuklah Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Penyelenggaraan Pilkada tidak semata bertumpu pada penegakkan hukum (rule of law), tetapi juga urgensi penegakan etika dan moralitas (rule of ethics) bagi seluruh jajaran penyelenggara. Earl Warren (1953-1969) pernah mengatakan “law floats in the sea of ethics” hukum mengapung di atas samudera etika. Hukum tidak mungkin tegak dengan keadilan, jika air samudera etika tidak mengalir atau tidak berfungsi dengan baik.
Penegakan hukum (rule of law) dan penegakan etika (rule of ethics) merupakan “jalur beradab” menyelesaikan seluruh proses pelaksanaan pilkada baik sisi penyelenggaraannya maupun penyelenggaranya. Mereka yang merasa dirugikan oleh penyelenggara karena adanya sebuah kebijakan atau prilaku penyelenggara yang dianggap memihak atau tidak netral dapat mengajukan complaint baik dari dimensi administratif, pidana, maupun etikanya.
Pada titik inilah mestinya publik termasuk media massa berpedoman pada standar-standar yang mengatur sekaligus mengikat penyelenggara dalam menyelenggarakan pilkada sehingga seluruh gerak yang kita lakukan berdimensi mendidik sekaligus mencerahkan yang pada gilirannya mendorong konsolidasi demokrasi di daerah.(*)
Penulis: Samsul Alam (Komisioner KPU Kota Palopo)