Oleh: Tony Rosyid
Demokrat meradang ketika PKS dan PAN menarik dukungan dari Deddy Mizwar. Demokrat marah dan menuduh PKS sebagai Partai Khianat. Andi Arief, salah seorang pengurus DPP Demokrat bahkan menulis di akun twitternya: Partai Khianat Selalu. Tuduhan itu terbuka dan jadi postingan yang viral di medsos.
Merasa dituduh, Syaikhu, ketua DPW PKS Jabar mendatangi rumah Demiz, panggilan akrab Deddy Mizwar. Syaikhu menjelaskan duduk masalahnya. Demiz mengerti, dan hubungan antara PKS dengan Demiz tak ada masalah.
Tidak demikian dengan Demokrat. Baper, itulah kira-kira situasi yang agak tepat untuk menggambarkan psikologi sebagian kader Demokrat. Mereka belum bisa terima langkah politik PKS dan PAN. Baru saja bergabung, kok ditinggalin?
Demokrat datang belakangan untuk melengkapi dukungan PKS dan PAN kepada Demiz. Karena Demiz dianggap paling potensial untuk menang. Selain incumbent, mesin PKS terbukti efektif memenangkan Ahmad Heryawan dua periode di Jabar. Setelah bergabung, lalu Demokrat ditinggalkan sendirian. Faktor inilah yang membuat Andi Arief menuduh PKS berkhianat.
Kenapa PKS dan PAN meninggalkan Demokrat? Inilah yang harus diklarifikasi oleh PKS. Hidayat Nurwahid, salah seorang wakil ketua Majlis Syuro PKS tidak tahan dengan tudingan itu. Untuk menghindari fitnah dan situasi tidak kondusif, ia memutuskan untuk memposting selembar kertas. Kertas surat itu berisi komitmen Demiz kepada Demokrat. Surat itu bermaterai dan ditandatangani Demiz. Demiz sering menyebutnya sebagai Pakta Integritas.
Pakta Integritas berisi 4 poin. Satu diantara poin itu adalah Demiz akan mendukung Capres dan Cawapres yang diajukan partai Demokrat. Poin inilah yang menjadikan PKS dan PAN kecewa kepada Demiz. Demiz berselingkuh. Begitulah kira-kira pandangan PKS dan PAN.
Jawa Barat adalah lumbung suara terbesar di pemilu 2019. 34 juta suara pemilih berasal dari Jawa Barat. Sekitar 20% dari seluruh suara di pilpres 2019. Memenangkan Jabar menjadi ikhtiar penting untuk memenangkan pilpres 2019. Semua partai mengincarnya. Pakta iIntegritas Demokrat dianggap sebagai pembajakan terhadap lumbung suara tersebut. Lalu, apa gunanya dukung Demiz, kalau keberpihakannya sudah tersandera Demokrat? Rasio ini yang ada di kubu PKS dan PAN. Wajar dan logis.
Lari dari Demiz dan demokrat, PKS dan PAN lalu memutuskan untuk bergabung dengan sekutu lamanya yaitu Gerindra. Koalisi oposisi ini sepakat dan bertekat mengusung pasangan May Jend (purn TNI) Sudrajat-Achmad Syaikhu di pilgub Jabar.
Di sisi lain, Pakta Integritas adalah cara cerdik Demokrat untuk berinvestasi dengan lumbung suara Jabar. Jika Demiz menang dan sukses jadi gubernur, maka suara Jabar bisa menjadi alat bergaining Demokrat untuk nego di pilpres 2019. Demokrat punya AHY, putra mahkota yang disiapkan SBY untuk menjadi pemimpin masa depan. Cawapres adalah pilihan paling rasional untuk AHY saat ini, mengingat belum adanya pengalaman. Gagal di DKI, peluang cawapres terbuka. Demokrat tidak ingin gagal dua kali.
Jokowi adalah pasangan yang paling rasional bagi AHY saat ini. *Pertama,* Demiz adalah orang dekat, dan bahkan dipercaya oleh Jokowi. *Kedua,* selama ini Demokrat nampak berupaya mendekat ke istana. “Tumbu ketemu tutup”, begitulah orang Jawa mengistilahkan.
Jika AHY berhasil mendapat pinangan Jokowi, maka rumor (seandainya benar) tentang “sandera Hambalang” akan berakhir. Demokrat tidak perlu lagi galau dan was was lagi.
Investasi ini untuk sementara waktu kehilangan harapan ketika PKS dan PAN menarik diri. Disinilah kekecewaan Demokrat bisa dimengerti. Siapapun yang kehilangan harapan, pasti kecewa. Logis dan masuk akal. Baru tidak logis kalau berurusan dengan politik. Mengapa? Karena, perselingkuhan dan tarik menarik dukungan dalam politik adalah hal biasa.
Hal yang sama pernah terjadi di tahun 2008. Saat itu Golkar-PKS sepakat mengusung Danny Setiawan-Ahmad Heryawan di pilgub Jabar. Sehari sebelum pendaftaran, SBY, presiden kala itu, masuk dan mengganti Aher, panggilan Ahmad Heryawan, dengan Iwan Sulanjana, kader Demokrat. Akhirnya, PKS terpaksa mengusung Aher-Dede Yusuf. Pasangan ini justru malah mampu mengalahkan pasangan yang diusung Demokrat.
Tahun 2012, koalisi PKS-Demokrat terjalin kembali di Pilgub DKI. Fauzi Bowo sepakat dipasangkan dengan Triwicaksana, kader teebaik PKS. Injury time, Demokrat manarik Triwicaksana dan menggantikannya dengan Nahrowi, kader Demokrat. Pasangan Fauzi Bowo-Nahrowi akhirnya keok oleh pasangan Jokowi-Ahok.
Cerita terkait tarik menarik dukungan itu klasik. Sesuatu yang lumrah dalam koalisi, baik di pilkada maupun pilpres. Lalu, ditaruh dimana itu etika? Politik punya etikanya sendiri.
Jika publik bilang: partai kok dipercaya? Para politisi tidak perlu marah dengan kritik itu. Gak usah “baper”. Anak gaul bilang: “biasa aja kalee…”. Kritik publik bisa menjadi terapi dan obat buat refleksi. Partai politik mesti sering melakukan instrospeksi.
Peta koalisi Jabar telah bergeser. Demokrat sekarang merapat ke ke Golkar. Kali ini yang diusung adalah pasangan Dedy Mizwar-Dedi Mulyadi, atau Dedi Mulyadi-Dedy Mizwar. Orang menyebutnya pasangan DeDe. Singkatan yang keren dan mudah diingat. Brandingnya mudah. Keduanya lagi bernego ketat, dan belum deal hingga sekarang: siapa yang akan jadi orang nomor satunya. Nego masih alot. Siapa yang punya partai plus uang, dan siapa yang lebih senior, populer dan tinggi elektabilitasnya. Semuanya masih terus dinegosiasikan. Kabarnya, Golkar ngotot Demul, panggilan akrab Dedi Mulyadi, jadi cagubnya. Apakah Demiz mau jadi wakil lagi? Kita lihat tanggal 9 Januari nanti.
Lalu, bagaimana dengan nasib satu lembar surat yang berisi Pakta Integritas itu? Golkar legowo jika Demiz akan mendukung Capres/Cawapres dari Demokrat? Atau mereka sudah deal soal Capres/Cawapres 2019?
Golkar berisi para politisi senior, berpengalaman dan terkenal licin. Rasanya sulit dipahami jika Golkar bisa menerima Pakta Integritas itu. Sebab, Golkar partai besar yang saat ini paling kuat dalam koalisi kekuasaan. Tak salah jika dikatakan bahwa nasib Jokowi saat ini ada di tangan Golkar. Ketika Jokowi berupaya lari dari PDIP, hanya Golkar yang bisa diandalkan. Selain suaranya paling besar, ketua umum Golkar terbaru, Airlangga Hartarto, adalah orang Jokowi.
Melihat kekuatan politik tersebut, hampir dipastikan Pakta Integritas Demokrat batal, seiring batalnya koalisi dengan PKS dan PAN. Pakta Integritas itu tidak berlaku untuk koalisi baru bersama Golkar.
Dengan batalnya Pakta Integritas dengan Demiz, Demokrat harus menelan kecewa. Jangan khawatir. Masih selalu ada ruang bagi Demokrat untuk berinvestasi di pulau Jawa. Jika tidak dapat semuanya, sebagian mesti diterima. Itulah lazimnya berpolitik. Dalam politik tak boleh “baper”.
Pilkada 2018 adalah ruang berinvestasi untuk pilpres 2019. Tidak hanya partai politik, “incumbent” pun paling getol membidiknya. Jawa adalah saham terlaris yang ada di Indonesia. Karena itu, harganya menjadi sangat mahal. Nego dan tawar menawarnya alot. Friksi antar partai makin kuat.
Dalam tawar menawar, akan muncul kesepakatan-kesepakatan. Kesepakatan itu akan dituangkan dalam surat yang disebut “Pakta Integritas”. Surat semacam ini biasanya ditandatangani oleh semua partai koalisi, bukan oleh satu partai. Dengan begitu, tak lagi ada perselingkuhan dan pembajakan atas kemenangan bersama.
Jakarta, 3 Januari 2018.
*) Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa