Oleh: Rusdi Maiseng, SH
PALOPO dan Kabupaten Luwu adalah dua daerah bertetangga yang sedang disibuki dengan tahapan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di wilayahnya masing-masing.
Hari-hari terakhir ini, wacana menuju penetapan peserta di Pilkada 2018, tanggal 12 Februari mendatang semakin ramai dengan segala macam masalah, manuver, intrik dan bumbu-bumbu seputar Pilkada itu sendiri, yang terhidang di kepala warga yang notabene calon pemilih itu sendiri, baik di media konvensional, maupun media sosial serta di warung-warung kopi, teras-teras rumah penduduk dan bahkan hingga diatas ranjang sepasang suami istri.
Pilkada langsung, yang merupakan peristiwa lima tahunan sekali itu, bukanlah baru pertama kali dihadapi oleh dua daerah di Tana Luwu. Ini adalah kali kedua pasca perubahan sistem pemilihan, yang dari konsep sistem Perwakilan di DPRD kemudian menjadi sistem Pemilihan Langsung oleh warga atau calon pemilih.
Meski baru selesai memasuki tahapan pendaftaran dan menuju ke tahap penetapan, namun gejolak dan suhu politik di dua daerah di Tana Luwu itu semakin meningkat. Padahal sejatinya, pilkada hanya alat, instrumen yang tujuan akhirnya ingin membawa masyarakat menggapai impian bersama, yakni aman, sejahtera dan makmur lahir batin.
Analisis politik hingga hari ini masih berkutat soal klaim mengklaim dari tokoh atau figur tertentu, ada yang sudah buang handuk, ada pula figur yang balihonya sering kita saksikan di tepi jalan, serta tokoh-tokoh masyarakat yang punya pengaruh, sehingga saling tarik menarik, adu dukungan pun menjadi bagian dari cerita seputar Pilkada.
Banyak isu yang berkembang di tengah masyarakat, yang harusnya menjadi perhatian semua pihak, agar Pilkada 2018 berjalan sesuai harapan masyarakat bawah. Kita tentu tak ingin, kasus-kasus Pilkada di daerah lain, sebut saja Pilgub DKI juga terjadi di Kota Palopo dan Kabupaten Luwu.
Maka, peran kandidat yang bertarung bersama Tim Pemenangannya menjadi kata kunci bagi kesuksesan pilkada itu sendiri. Meski faktor-faktor lain tak bisa dinafikan, misalnya KPU atau Penyelenggara Pilkada yang tidak saja dituntut harus profesional tetapi juga netral. Begitupun lembaga-lembaga lain, misalnya Pengawas Pemilu (Panwaslu), Aparat Keamanan dari unsur TNI/Polri serta semua stakeholder pemangku kepentingan.
Meski sudah diawali oleh perebutan kursi parpol yang menyedot energi dan perhatian semua pihak, terutama isu soal mahar politik yang hingga kini belum kunjung selesai perdebatannya, namun kita harus tetap optimis bahwa Pilkada 2018 mestinya menjadi ajang pendewasaan berdemokrasi semua pihak, ya parpol, ya kandidat dan termasuk masyarakat itu sendiri.
Jangan menghabiskan energi pada perdebatan dan isu yang berpotensi menimbulkan ‘ledakan’ kebencian di tengah masyarakat. Figur yang bertarung dan Tim Pemenangan, diharapkan kontribusinya dalam ikut menyumbangkan gagasan dan ide-ide yang lebih dibutuhkan bagi para calon pemilih dibanding wacana dan isu-isu kurang penting, yang mengarah pada perpecahan sesama anak bangsa.
Ketika etika dan moral sudah dikedepankan oleh semua pihak yang terkait dengan Pilkada, maka diharapkan proses-proses selanjutnya berjalan lebih sehat, dan lebih kondusif. Pilkada bukanlah ajang balas dendam atas realitas politik masa lalu, bukan juga ajang umbar janji (yang sulit ditepati) untuk masa akan datang, tetapi lebih dari itu, Pilkada adalah pesta demokrasi rakyat yang merupakan pintu masuk ke gerbang mencapai mimpi dan harapan rakyat, yang mendambakan kesejahteraan yang lebih baik, yang mendambakan layanan birokrasi yang lebih simpel dan tidak bertele-tele, yang haus akan akan pemenuhan kebutuhan pendidikan, kesehatan dan lain sebagainya yang nanti harus mereka dapatkan dari Hasil Pilkada yang prosesnya kadung mahal dan penuh intrik dan manuver tersebut.
Maka, tulisan ini ingin mengingatkan kita semua, bahwa semangat dan cita-cita reformasi yang sudah dilakukan oleh kaum muda, mahasiswa, pelajar dan cendekiawan negeri ini, jangan sampai membuat kita mundur ke belakang (seat back), tetapi kita harus maju ke depan, tentu dibarengi dengan upaya perbaikan-perbaikan. Maka dari itu, yang diperlukan adalah bagaimana kita mengedukasi rakyat secara baik dan benar. Sehingga, bayang-bayang hitam kegagalan penyelenggaraan Pilkada masa lalu, menjadi alarm sekaligus warning dan jadi spirit serta semangat kita untuk membangun peradaban baru, di tanah leluhur kita, yang potensinya luar biasa ini.
Solusinya hanya satu. Kerjasama semua pihak, dengan mengedepankan aspek budaya dan komunikasi yang baik serta peran media massa yang independen dan netral, juga menjadi penting sebagai catatan yang harus diingat. Serta tentu saja, peran kelompok-kelompok diskusi dalam masyarakat terutama pelajar mahasiwa dan cendekiawan sebagai pemberi pencerahan dan edukasi dari demokrasi yang sedang dibangun juga menjadi bagian yang sangat penting dan tak boleh diabaikan.
Disisi lain, ketegasan aparatur keamanan, dibarengi dengan pendekatan kemanusiaan dan preventif, tidak repressif serta menjaga bingkai demokrasi tetap sehat dari pengaruh dan provokasi berlebihan dari oknum yang selalu saja muncul di setiap perhelatan pilkada menjadi bagian integral kesuksesan Pilkada itu sendiri.
Dengan pendekatan-pendekatan baik psikologis, maupun keilmuan diikuti oleh goodwill pemerintah yang ingin menciptakan Pilkada damai dan berkualitas, maka kita tentu berharap banyak pada figur-figur yang bertarung. Kendali atas lisan dan titah mereka, pada hari-hari mendatang adalah penentu, bagi keberhasilan maupun cerita kegagalan Pilkada itu sendiri. Wallahu ‘alam…
*)Penulis adalah Pengamat sosial politik, tinggal di Palopo