Oleh: Fikram Kasim, Presiden Mahasiswa IAIN
Perhelatan politik untuk memilih peminpin politik dari tingkat atas sampai bawah selalu membawa isu hangat tentang mitos oligarki, feodalisme kelas sosial selalu menjadi bumbu hangat untuk mendapatkan citra dari masyarakat. Sistem oligarki selalu hadir berwujud menjadi kelas baru baik kelas priyayi, santri dan abangan seperti yang diungkap (Geertz selalu hadir).
Padahal politik demokratis merupakan anti tesis dari politik oligarki, otoritanisme, dan totalitarianisme dalam segala aspek kehidupan, dalam hubungannya berbangsa dan bernegara.
Penulis melihat bahwa, dalam kenegaraan kita ini masih dalam demokrasi transisi, sistem demokrasi dihadapkan dengan kultur masyarakat yang masih banyak berada dalam kungkungan kelas sosial.
Kalau kita melihat tulisan Samuel P. Huntington (1991) perjuanagn menuju negara yang demokratis itu berdarah-darah memakan korban yang tidak sedikit. Karena memperjungkan demokrasi berarti kita akan menghapus paraktek otoritarianisme, totalitarianisme serta menerobos seluruh kelas sosial yakni menuju masyarakat madani dan ideal.
Untuk mewujudkan negara ideal tentunya penulis juga melihat hal ini bukanlah suatu yang mudah, karena kelas sosial itu selalu menjadi basis massa, yang berteriak atas kepentingan golongan, tapi yang benar-benar berteriak atas kepentingan kemanusiaan dan pendewasaan dalam bernegara masih adakah?
Mengenai sistem negara demeokrasi dalam penelitian Arief Budiman dan Tornquist mengalami pasang surut, dan yang sangat penting dalam sejarah perjuangan demokrasi selalu kandas. Pasangan kandas ini dalam penelitan dia disebabkan adanya hubungan erat antara demokrasi dan peran militer dalam kehidupan politik kaum sipil.
Terlepas dari itu semua, penulis melihat hal tersebut terjadi kerena peran dan fungsi sosial masyarakat sangatlah penting, bahwa dalam berbangsa dan bernegara kita harus mampu menjadi masyarakat yang cerdas secara individu dan juga cerdas secara sosial sehingga tanggung jawab kita sebagai manusia mampu berperan sebagaimana mestinya dan mampu menjadi masyarakat yang bebas menentukan pilihan dan mampu menjadi agen perubahan sosial.
Sehingga kita sadar bahwa politk yang harus kita pegang adalah politik yang mencerdaskan, bukan politk yang membungkam apalagi kita ikut-ikutan. Dalam memilih peminpin kita harus cermat dan cerdas memilih dia yang punya agenda kemanusian bukan mereka yang secara garis keturunan, nabi, kiai atau sejenisnya, karena hal itu tidak menjamin akan membawa kita pada yang lebih baik. Kekuatan adalah di tangan kita segenap tumpah darah indonesia bukan hanya milik segelintir golongan apalagi hanya mengandalkan politik citra tapi dalam masyarakat dia tidak berbuat apa-apa.
PALOPO, 16 Januari 2018
*) Penulis adalah Presiden Mahasiswa IAIN