OPINI — Masih banyak yang belum mengenal Tirto Adhi Soerja. Dialah bapak media Indonesia pertama yang berjuang keras agar bangsa ini bangkit dan menjadi bangsa merdeka. Pengorbanan besar telah diberikan oleh Tirto.
Banyak deraan dari Pemerintah Kolonial Belanda. Depresi akut menjangkitinya di tahuntahun terakhir hidupnya. Perjuangannya pun usai pada 7 Desember 1918 atau tepat 100 tahun lalu. Sang pemula pers bumiputera yang telah berjuang mati-matian demi menyadarkan bangsa itu mengembuskan napas penghabisan. Sang pemula pers bumiputera itu meninggal dalam kesunyian dan keterpurukan akibat perlakuan pemerintah kolonial.
Pramoedya Ananta Toer menyematkan gelar Bapak Pers Nasional kepadanya. Pemerintah pun mengakui jasa- jasanya dengan memberi gelar Pahlawan Nasional pada 2006. Jasa-jasa serta nilai-nilai kebangsaan Tirto banyak diteruskan oleh orang-orang yang pernah belajar kepadanya. Salah satunya, Mas Marcodikromo aktivis pergerakan sekaligus jurnalis pribumi paling pemberani di dekade kedua abad 20 ‘’Tuan T.A.S. adalah induk jurnalis bumiputera di ini tanah Jawa. Tajam sekali beliau punya pena. Banyak pembesar yang kena kritiknya jadi muntah darah dan sebagian besar memperbaiki kelakuannya yang kurang senonoh,’’ tulis Mas Marcodikromo dalam artikel bertajuk ‘’Mangkat’’ yang dimuat surat kabar Djawi Hisworo edisi 13 Desember 1918. Tuan T.A.S. yang dimaksud adalah Tirto Adhi Soerjo. Marco menganggap Tirto sebagai mentor atau guru jurnalistik.
Dia belajar kepada Tirto di surat kabar Medan Prijaji pada 1907.
Tirto lahir dengan nama kecil Djokomono di Blora, Jawa Tengah pada 1880. Dia menyandang gelar raden mas. Setelah beranjak dewasa, putra Raden Ngabehi Hadji Moehammad Chan Tirtodhipoero ini lebih dikenal dengan nama Tirto Adhi Soerjo. Cucu Bupati Bojonegoro RMTTirtonoto, penerima Ridder Nederlandsche Leeuw, bintang tertinggi sipil dari Kerajaan Belanda itu juga mewarisi darah Mangkunegara I alias Pangeran Sambernyawa dari Surakarta dari sang nenek. M. Rodhi As’ad melalui tulisan ”Tirto Adhi Soerjo: Pengguncang Lelap Bumiputera” menulis perjalanan hidup sang pemula itu hingga akhirnya memutuskan jalur media.
Lahir di Blora dan besar di Bojonegoro, dan menuntaskan pendidikan dasar di Rembang. Tirto pun merantau ke Betawi untuk melanjutkan sekolah di Hogere Burger School (HBS). Lulus HBS, ia diterima di sekolah dokter bumiputera, yakni School tot Opleiding van Inlandsche Artshen (STOVIA), di Batavia. Tirto menolak menjadi abdi pemerintah dan tak menamatkan sekolah di STOVIA karena jatuh cinta pada dunia tulis-menulis.
Tirto mulai menulis sejak awal masuk STOVIA dengan mengirimkan tulisan ke berbagai surat kabar terkemuka saat itu, sebut saja Bintang Betawi, Chabar Hindia Olanda, Pewarta Priangan, Bromartani, juga Pembrita Betawi. Dia kemudian menetap di Bandung saat bekerja untuk Pewarta Priangan. Ia kembali ke Batavia setelah surat kabar itu bangkrut, kemudian bergabung dengan Pembrita Betawi sebagai redaktur. Kariernya di koran ini melesat cepat. Pada 1901, ia sudah menjadi redaktur kepala, dan setahun berselang, ia dipercaya menjabat sebagai pemimpin redaksi. Tirto belajar dari Karel Wijbrands, jurnalis senior yang juga pemimpin redaksi Niews van den Dag. Dia benyak belajar soal mengelola penerbitan, mempelajari hukum untuk mengetahui batas-batas kekuasaan pemerintah kolonial, beserta hak dan kewajibannya.
Tirto diajari soal tentang harga diri menurut standar Eropa dan teknik menghantam aparat kolonial; bukan pemerintah yang diserang, tapi aparatnya lantaran hasilnya sama saja. Tirto juga memperdalam pengetahuan soal bangsa bumiputera yang mayoritas muslim.
Dia mendalami ajaran Islam berikut hukum-hukumnya. Pada 1903, Tirto menerbitkan Soenda Berita, salah satu surat kabar pertama di Indonesia yang diterbitkan, dikelola, dan dimodali oleh bumiputera. Tepatnya, 7 Februari 1903, Soenda Berita terbit menjadi tonggak sejarah pers nasional. Media ini yang menjadi wadah untuk mencapai cita-cita perjuangan demi memajukan bangsa. Sebagai strategi untuk menarik minat dan menyadarkan pembaca rakyat kebanyakan, Soenda Berita oleh Tirto disematkan label: ‘’kepoenjaan kami pribumi’’. Sayang, Soenda Berita krisis finansial. Perjalan Tirto 1905-1906 untuk menggalang dana juatru semakin membuat koran itu semakin parah dan berhenti terbit.
Tirto kemudian menerbitkan koran mingguan Medan Prijaji, 1 Januari 1907. Selain penggagas, Tirto menjadi editor sekaligus administrator. Medan Prijaji memperoleh bantuan dari bangsawan lokal dan saudagar anak negeri. Pada 10 Desember 1908, NV Javasche Boekhandel en Drukkerij en Handel in Schrijfbohoeften Medan Prijaji resmi berbadan hukum. NV (Naamloze Vennootschap atau perseroan terbatas alias PT) ini tidak hanya menerbitkan Medan Prijaji, melainkan juga beberapa media lainnya, termasuk Soeloeh Keadilan.
Tirto pun benar-benar menjadi orang Indonesia pertama yang menyuluh rasa kesadaran berbangsa bumiputra melalui kuasa media. Dia memperkenalkan jurnalisme advokasi. Tak jarang, Tirto membela kaum tertindas lewat surat kabarnya.
Tirto membeberkan tentang kesewenang-wenangan para pejabat. Sepak-terjangnya membuat Pemerintah Kolonial Belanda berang. Tirto pun dijerat dengan delik pers dan diajukan ke meja hijau. Pada 1912, dia diasingkan ke Maluku. Sepulang dari pembuangan dan kembali ke Batavia, pengaruh Tirto sudah melemah. Harta dan aset habis disita negara. Temantemannya juga menjauh. Pada akhir hayatnya, Tirto berada dalam keterpurukan. Meski demikian, apa yang dilakukan Tirto menjadi salah satu fondasi dasar pembentukan negeri tercinta ini. Dialah yang menjadikan media sebagai salah satu bidan bagi kelahiran Indonesia.(CNN Ind, Tirto Id-41/SM/JNN)