oleh: Ishak Yswandi
OPINI | Setiap tahun kita memeringati Hari Perlawanan Rakyat Luwu (HPRL), dan Hari Jadi Luwu (HJL).
Seremoni terhadap dua hari besar bagi masyarakat di 4 kabupaten/kota di Luwu Raya telah berlangsung lama, di tengah hiruk pikuk perjuangan warga di Tana Luwu untuk “merdeka” dan menentukan nasib sendiri lewat wacana pemekaran provinsi menjadi Provinsi Luwu Raya (PLR).
Jika usia HPRL telah 77 tahun, maka sejak itu pula, kita di Luwu Raya melakukan sekedar ritual seremonial yang telah banyak mengeluarkan anggaran atau tepatnya pemborosan anggaran setiap tahunnya, sementara tujuan utama yakni berdiri sendiri dan menyejahterakan rakyat lewat pemekaran provinsi hanya sekedar wacana yang tanpa gerakan struktural yang punya nilai tawar (bargaining) di Pemerintahan Pusat.
Jika misalnya anggaran untuk “pesta” tahunan HPRL dan HJL di kabupaten/kota penyelenggara yang setiap tahunnya berganti tuan rumah, anggap saja 300 juta sampai dengan 500 juta, maka 25 tahun reformasi dikalikan hitungan kasar tadi nilainya cukup fantastis, berkisar 7,5 miliar hingga 12,5 miliar rupiah.
Angka yang cukup besar untuk membuat sebuah investasi ekonomi demi menyejahterakan rakyat di jazirah Utara Sulawesi Selatan.
Sementara isi berita di detik.com edisi 27 Desember 2022, dari 9 daerah termiskin di Sulawesi Selatan, ada 2 kabupaten asal Tana Luwu yakni Luwu Utara dan Kabupaten Luwu mendapat “kehormatan” duduk di ranking ketiga dan keempat. Link berita: https://www.detik.com/sulsel/bisnis/d-6483473/9-daerah-termiskin-di-sulawesi-selatan-ini-daftarnya
Itu artinya apa? Itu artinya pemerintah daerah di Tana Luwu bukan saja gagal sebagai Pemimpin, tapi juga sukses menumpuk kekayaan di periode masa jabatannya, itu jika kita mau sedikit bersusah payah searching di google tentang Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara di laman KPK khususnya bagi mereka yang diberi amanah di 3 Kabupaten dan 1 Kota di Luwu Raya ini. Harta kekayaan mereka naik berlipat-lipat sementara itu tadi, kesejahteraan rakyat hanya dongeng omong kosong yang bunyinya nyaring diatas mimbar kampanye perhelatan politik 5 tahunan yang bukan saja culas dan curang tetapi juga bobrok.
Menyedihkan bukan? Atau mungkin hal yang wajar saja bagi mereka yang urat malunya sudah telanjur putus atau mereka yang punya hati busuk. Entahlah.
Sementara itu saudaraku, KKLR sebagai organisasi sosial kemasyarakatan terbesar, sekali lagi terbesar, yang anggota dan para Pengurusnya serta sasaran pokok wilayah terbentuknya mencakup 4 Kab/Kota yakni Luwu, Palopo, Luwu Utara dan Luwu Timur – harusnya menjadi lokomotif perubahan, karena KKLR adalah satu-satunya lembaga non partisan, lintas kepentingan, lintas platform, lintas agama, dan sebagainya yang sekali lagi – harusnya menjadi motor penggerak menuju pembentukan Provinsi Luwu Raya.
Namun sayangnya, KKLR yang harusnya sebagai lokomotif perubahan banyak diisi oleh para oportunis, hanya diisi oleh kalangan elit Luwu Raya, kalangan pengusaha kakap, kalangan bangsawan dan sebagainya yang jauh dari unsur grass root (akar rumput) yang mewakili rakyat kelas bawah Tana Luwu yang secara ekonomi “dijajah” oleh gempuran para pendatang dan berbagai kebijakan Pemerintah Pusat yang tidak mampu melindungi kepentingan masyarakat asli Tana Luwu, negeri kaya raya tetapi tidak berdaulat atas kekayaan alam, bumi dan hasil lautnya sendiri.
Mengutip statement Almarhum Hamka Hidayat, beberapa waktu lalu semasa hidupnya saat masih duduk sebagai legislator, bahwa kita Wija To Luwu memang tidak diperhitungkan, jangankan di elit politik Nasional di tingkat Sulsel saja, kita tidak punya tokoh yang “suaranya didengar”. Semoga Almarhum diberikan tempat yang layak disisiNya, kuburnya dilapangkan dan amal ibadahnya semasa hidup diterima, Aaamin YRA.
Kembali ke soal KKLR dan wacana Provinsi Luwu Raya yang tiap 5 tahun sekali hanya jadi jualan para oportunis baik di Pileg maupun Pilkada dan Pilgub termasuk Pilpres.
Rakyat Tana Luwu agaknya sudah jeri dan tak hirauk lagi dengan jualan kecap Para Pembual tersebut. Kepentingan Provinsi Luwu Raya menjadi mandek bukan saja karena kita, Wija To Luwu tidak punya pengaruh tetapi memang karena elit-elit Tana Luwu sibuk membuat grup-grup atau blok berdasarkan kepentingan individu dan kelompoknya masing-masing.
Blok Selatan misalnya, sibuk membentuk dan membesarkan dinasti politiknya daripada ikut “terpancing” dan terlibat mendorong wacana Luwu Raya di tingkat interen sesama Wija To Luwu.
Blok Kamanre dan Ratona setali tiga uang. Lebih memilih menyiapkan sang putra mahkota untuk melenggang di ajang pesta 5 tahunan dengan tagline gagah: Kebersamaan. Chuaaakkzzz.
Lain lagi Blok Masamba dan Blok Malili. Agaknya, mereka semua sibuk memikirkan “masa depan” anak cucunya, suami-istri, om-tante-ponakan daripada membuat gerakan yang memperkuat wacana Provinsi Luwu Raya menjadi lebih terarah, lebih tajam dan punya gereget sehingga Pusat paling tidak merasa gentar, dan mendorong terbentuknya PLR dari sekedar wacana menjadi seutas kebijakan.
Rakyat di Tana Luwu sudah muak dengan terlalu banyaknya diskursus, diskusi, dialog atau apalah namanya dengan tema utama PLR. Hampir semua lembaga, kelompok masyarakat, kelompok mahasiswa, pelajar dan sebagainya melakukan dialog tentang ini.
Sampai berbusa-busa mulut, dari tahun ke tahun hanya sekedar lip service, bunga telinga dan tidak ada kejelasan. Nonsens.
Mau sampai kapan wacana PLR ini terus hanya sekedar wacana?
KKLR harusnya berhenti di tataran wacana semata, dan memulai sebuah strategi dengan gerakan-gerakan yang revolusioner.
Lakukanlah “gerakan tambahan” yang membuat lembaga anda diperhitungkan. Buatlah seruan yang punya nilai plus untuk membuat sadar elit politik Sulsel serta elit Jakarta, bahwa PLR adalah sebuah keniscayaan, yang akan membuat Wija To Luwu berhenti “mengemis” anggaran di Provinsi hingga ke Pusat.
Gerakan revolusioner sebagai shock therapy untuk lebih didengar dan diperhatikan. Berhentilah berwacana yang indah-indah, berandai-andai yang tak berujung, yang hanya menghabiskan waktu dan tenaga tapi jangankan didengar, digubris elit Makassar dan Sulsel saja tidak, apalagi elit Pusat.
Masa kita kalah dari saudara kita di Papua sana – yang, maaf, baru belajar pakai celana?? Hampir tiap tahun jumlah pemekaran wilayah mereka selalu bisa tembus di Pemerintah Pusat dan gaungnya nyaring terdengar. Sementara kita, dongeng Provinsi Luwu Raya, hanya nyaring sekali dalam 5 tahun, sesudah itu hilang lagi bak ditelan bumi. Entah sampai kapan?
Wallahu’alam…..
*) Penulis adalah jurnalis miskin, tinggal di Palopo