OPINI MEDU-ONLINE | Hari ini, hari Rabu, 9 Februari 2022, seluruh insan pers Tanah Air seyogyanya sedang merayakan “hari lebarannya”. Hari yang sakral, karena usia pers nasional bertambah lagi setahun.
Tanggal tersebut merupakan tanggal terbentuknya Persatuan Wartawan Indonesia pada 9 Februari 1946 di Solo, Jawa Tengah, yang menurut Presiden Soeharto saat menerbitkan Kepres di tahun 1985 karena merupakan pendukung dan kekuatan pers nasional saat itu.
Tanggal 9 Februari dijadikan sebagai Hari Pers Nasional (HPN) merupakan hasil kebijakan dari Presiden Soeharto, yang pada tahun 1985 beliau mengeluarkan Keppres Nomor 5 Tahun 1985 tentang Hari Pers Nasional.
Dalam keputusan itu, Presiden Soeharto menjelaskan kalau pers nasional Indonesia mempunyai sejarah perjuangan dan peranan yang penting, serta untuk terus mengembangkan kehidupan pers nasional Indonesia yang bebas, perlu ditetapkan tanggal 9 Februari sebagai Hari Pers Nasional.
Di usianya yang ke 76 tahun, Pers Nasional mengalami banyak pasang surut. Baik secara kuantitas maupun kualitas.
Ketua Dewan Pers 2016-2019 Yosep Adi Prasetyo memperkirakan jumlah media massa di Indonesia mencapai 47.000 media dan media online mencapai 43.300 (Jurnal Dewan Pers, November 2018).
Kemajuan teknologi, membuat banyak produk pers yang terpaksa harus tumbang, tergilas zaman yang semakin canggih dan modern.
Media cetak khususnya majalah, tabloid serta koran dan media elektronik, khususnya radio banyak yang gugur, karena gulung tikar.
Munculnya era new media atau media baru yang dikenal dengan istilah media online yang medium atau perantaranya adalah internet, membuat zaman keemasan surat kabar (koran), majalah, tabloid dan radio akhirnya nyungsep. Selain media online, kita juga mengenal istilah media sosial atau Medsos, yang pengaruhnya luar biasa bagi kehidupan di tengah masyarakat.
Perubahan kultur, paradigma pers pun ikut berubah. Wartawan zaman dulu yang dikenal dengan istilah “kuli tinta” – istilah yang cenderung menempatkan wartawan sebagai kelas pekerja sebagai kuli atau buruh kasar dengan upah rendah – adalah fenomena dan fakta yang sulit untuk dibantah. Zaman kini, istilah itu bergeser menjadi “kuli handphone” karena hampir semua pekerjaan para insan pers dieksekusi dengan menggunakan telepon seluler (HP), tidak lagi menggunakan mesin ketik, atau mencatat pakai buku diary dan pulpen.
Perkembangan teknologi di era digital saat ini tumbuh dengan sangat pesat. Mereka yang tidak bisa menyesuaikan perubahan akan tergilas zaman. Kedigdayaan digital, khususnya media online dengan cepat menggerus eksistensi media kertas. Mulai dari buku, koran, majalah dan media cetak lain oplahnya (jumlah barang yang dicetak) menurun karena perlahan ditinggalkan pembaca.
Masyarakat kini lebih memilih membawa gawai karena kepraktisan dan kecepatan mendapatkan informasi. Idiom yang ada saat ini: membawa koran hingga majalah dianggap merepotkan. Sementara informasi dari media massa oleh sebagian besar masyarakat dianggap sudah basi karena Media Sosial cenderung selangkah lebih maju dan lebih cepat, serta praktis pula. Makanya sudah jarang kita melihat, pengunjung warkop menenteng koran saat ingin bercengkrama dengan kerabatnya. Semua sibuk dengan gawainya masing-masing.
Kendati menghadapi senjakala, beberapa media massa arus utama masih mencoba bertahan. Mulai dari koran Jawa Pos, Kompas, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat hingga majalah berita mingguan Tempo.
Era new media ternyata bukan hanya merontokkan media-media cetak di Indonesia, tapi juga di luar negeri, seperti Amerika Serikat dan Inggris.
Di Indonesia, Tabloid Cek & Ricek tercatat sebagai media cetak yang gulung tikar pada 23 April 2019 silam. Terbit sejak 1997, kini tabloid ini hanya menyapa pembaca setianya melalui website ceknricek.com.
Media cetak lainnya yang akhirnya tutup buku adalah Tabloid BOLA, Bola Vaganza, Rolling Stone Indonesia, Majalah HAI
Majalah Kawanku, Majalah GoGirl, Cosmo Girl Indonesia, Koran Tempo Minggu, Sinar Harapan, Majalah Trax, Majalah Chip dan lainnya.
Problematika Insan Pers
Pers yang kerap dipelesetkan menjadi Pers(oalan) bukan lagi Pers(pektif) adalah satu soal lain yang sulit kita nafikan.
Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) insan pers baik wartawan, jurnalis, kontributor, atau apapun namanya, dihadapkan pada masalah integritas, selain soal wawasan, kecerdasan, attitude. Integritas wartawanlah yang biasanya menjadikan tulisan sebagai produk akhir sang pewarta – dapat dinilai publik, berbobot atau tidak.
Meski kecendrungan wartawan yang seyogyanya netral, independen dan tidak terpasung pada kecendrungan keberpihakan yang sangat manusiawi dan dimiliki oleh semua insan pers manapun di seluruh dunia, namun paling tidak, kemampuan untuk berdiri tegak pada garis yang tak berpihak, masih menjadi “barang” yang cukup langka. Ehemmm…
Belum lagi ulah oknum wartawan yang masih ada juga yang dinilai menggadaikan idealismenya demi cuan. Menjadikan berita sebagai senjata untuk memperkaya diri dan kelompoknya. Menjadikan narasumbernya sebagai mesin ATM, dan sebagainya.
Problem ini sudah sering kita dengar. Bukan rahasia umum lagi. Oknum-oknum wartawan yang mencoreng citra profesi mulia ini sampai hari ini masih saja menjadi bahan cerita off the record dari HPN ke HPN.
Selain karena kurangnya kesadaran, faktor ekonomi adalah salah satu pemicunya. Memang saat ini banyak media online yang bak cendawan tumbuh subur di musim hujan. Namun perusahaan-perusahaan pers tersebut, hanya mengandalkan semangat, tidak dibuat dengan manajemen yang baik, sehingga wartawannya banyak yang hidupnya kembang kempis. Tidak digaji, hanya mendapatkan upah seadanya. Dan kalaupun ada perusahaan pers yang menggaji karyawannya (baca: wartawan), itupun masih jauh dari Upah Minimum Regional atau UMP. Terkesan seadanya dan sangat minim.
Tingkat kesejahteraan wartawan inilah yang biasanya memicu adanya kelompok-kelompok “radikal” yang seperti dijelaskan diatas tadi, menggunakan “kartu pers” sebagai senjata dalam mencari nafkah. Mengancam sumber berita, apalagi untuk kasus-kasus “basah” yang notabene pelakunya adalah Pejabat, tokoh masyarakat, pimpinan perusahaan, elit politik, pimpinan eksekutif dan sebagainya.
Problem lainnya, tingkat persaingan antarmedia yang semakin tinggi, membuat independensi media juga mulai “goyah”. Media mencari pegangan agar tidak hanyut terbawa arus perubahan. Jalan pintasnya, adalah dengan berselingkuh dengan kekuasaan. Demi kontrak dengan Pemerintah Daerah, misalnya, maka isi pemberitaan cenderung “cari aman” dan bertabur berita ‘plat merah’.
Income perusahaan media, yang hanya mengandalkan cuan dari pemerintah dan elit politik, akhirnya akan mewarnai kebijakan media itu sendiri. Dan pada ujungnya, sistem oligarki yang berputar dan membuat mata rantai tersendiri, mau tidak mau – suka atau tidak suka – menjadikan pers ikut tercebur pada permainan besar elit global, kepentingan golongan akan terus tetap berada diatas, dibanding dengan kepentingan publik, yang harusnya menjadi roh dari pers itu sendiri.
Terakhir, ijinkan di Hari Pers Nasional ini, untuk kita sama-sama merenung, bahwa sistem yang salah ini, yang lebih mengutamakan kepentingan “pengorder” atau pemesan iklan, apapun wujudnya, harus kita singkirkan dari mindset dan perspektif pers itu sendiri.
Pers menghadapi cobaan dan tantangan yang sangat berat. Berat karena harus melawan dirinya sendiri, yang lemah secara finansial meski kuat secara integritas dan moral.
Sudah waktunya bagi insan pers untuk merapatkan barisan dan membuat kolaborasi yang hebat, yakni menghimpun sumber-sumber pendapatan yang sah dan halal bagi perusahaan media, entah dengan cara membuat usaha penopang, usaha mandiri yang tidak lagi mengandalkan kemampuan lobi individu, yang bergerak tidak saja demi kepentingan bisnis media tetapi juga demi kepentingan sosial, kepentingan umat, kepentingan rakyat pada akhirnya.
Selamat Hari Pers Nasional!
*) Penulis: Ishak Yswandi, wartawan freelance, kini tinggal di Palopo
Referensi:
Daftar Media Cetak Yang Gulung Tikar Karena Tergilas Media Online
Sejarah dan Fakta Di Balik Penetapan Hari Pers Nasional yang Jatuh pada Tanggal 9 Februari 2022