PALOPO — Pemilihan Kepala Daerah secara Serentak di Indonesia tahun depan memiliki kecendrungan menuju ke arah politik yang tidak sehat.
Hal ini dikatakan Rusdi Maiseng, pengamat politik dan kebijakan publik di Social Barn Mega Plaza, Palopo, Selasa 14 November 2017.
Menurut Rusdi, politik uang sangat kental nuansanya dalam Pilkada Serentak 2018 utamanya di Kota Palopo. Isu calon petahana memborong 23 kursi dari 25 kursi yang ada membuat ia terusik untuk ikut angkat bicara.
“Pilkada adalah pesta demokrasi, pestanya rakyat bukan pestanya figur tertentu yang sedang mempertontonkan syahwat kekuasaan, hingga membatasi ruang gerak figur lain untuk ikut serta dalam hajatan politik lima tahunan,” ucap Cudi sapaan akrab Penasehat Liga Masyarakat Kreatif (LMK) Sulsel.
Monopoli parpol, tambah dia, hanya menimbulkan perasaan antipati di kalangan masyarakat karena tidak membuka ruang seluas luasnya bagi calon lain untuk ikut serta dimana hak politik figur lain tersebut untuk dipilih dan memilih telah dikebiri oleh kapitalisasi politik alias politik uang.
“Saya melihat ada ketakutan pada incumbent untuk mempersilakan figur lain ikut bertarung, ini kemudian bersoal, ada apa sebenarnya, jika memang percaya diri lebih diatas dari yang lain, lantas kenapa harus takut?,” tanya dia keheranan.
Untuk itu ia berharap, parpol juga ikut memberi andil bagi terbukanya kesempatan bagi figur lain untuk maju berkompetisi dalam Pilkada Serentak di Palopo, tidak malah menjadi penghalang bagi figur alternatif apalagi aroma politik uang sangat sulit dibantah.
“Saya melihat parpol juga ikut terseret arus kekuasaan sehingga idealisme parpol sebagai pintu bagi terbukanya ruang demokrasi yang sehat menjadi pertanyaan publik, ada apa ini, tak ada lagi balance of power, semua parpol hari ini menjadi ‘pedagang’ bukan sebagai negarawan,” jelasnya.
Selain itu, Cudi juga menyoroti soal pragmatisme politik yang dilakukan Tim Sukses kandidat. Menurutnya, seharusnya timses ini juga memberi pendidikan politik yang baik. Mereka harus berinteraksi dengan masyarakat tentang visi misi masing masing kandidat, tidak malah terjebak dalam pusaran politik klaim.
Nah, kenapa hal ini terjadi, karena mereka lebih memperlihatkan pada pragmatisme kekuasaan tidak menyentuh pada kepentingan rakyat.
Tak heran jika hari ini di lingkungan kekuasaan diisi oleh para penjilat-penjilat kekuasaan yang lebih mementingkan kepentingan individu semata daripada kepentingan rakyat, imbuhnya.
“Mengapa demikian? Karena kekuasaan itu sendiri dikelola layaknya dinasti politik sehingga yang terjadi adalah penumpukan pundi-pundi kekayaan pada segelintir orang saja,” tegasnya.
Muara dari ini semua, kata dia, adalah bagaimana pilkada menghasilkan pemimpin yang terbaik dari proses demokrasi yang berlangsung sehat, tanpa politik uang dan parpol yang menjalankan fungsinya sebagai artikulasi dan agregasi yang melihat kehendak publik.
Namun jika prosesnya saja model seperti ini saya pesimis, kita hanya akan masuk pada pesta kaum elit yang tidak menguntungkan kepentingan demokrasi dan rakyat banyak, pungkasnya.(*)