Oleh: Iccank Razcal
OPINI — Ijinkan saya ORASI di Medsos atau di dunia maya saja. Karena orasi di jalan raya aku tak sanggup jika harus dijaga om-om polisi, apalagi kulitku yang mulus ini agak sensitif dengan sinar matahari siang. Lebay!
Ini untuk adik-adikku mahasiswa dan rakyat Tana Luwu yang hari ini merasa masih belum merdeka. Yang telah menutup jalan Trans Sulawesi berjam-jam untuk menarik perhatian Pemerintah Pusat dan juga dunia internasional.
Saya ingin tegaskan: Kita memang masih belum merdeka!
Angka kemiskinan di tanah subur ini masih cukup tinggi, (catatan, kecuali jika musim kampanye tiba).
Angka Pengangguran idem.
Angka kebahagiaan kaum jomblo pun juga sama.
Entahlah dengan “Angka Kemalasan” penduduknya, soalnya belum aku survei satu-satu.
Tapi yang pasti, 2018 lalu kita sudah punya gubernur baru.
2018 kita hampir punya Wakil Gubernur yang berasal dari Tana Luwu sendiri. Tapi gagal, itu salah siapa?
2019 wallahu alam, apakah kita akan punya presiden baru ? Ah, saya rasa tidak begitu penting bagi rakyat Tana Luwu.
DUA Pertanyaan yang tak perlu jawaban. Hanya perlu tindakan dan politik akal sehat semata. Jika puas lanjutkan, jika tidak, cari pemimpin baru. Karena memang pilihannya hanya ada DUA. Jokowi atau Prabowo. Cukup!!!
Hari ini Hari Perlawanan Rakyat Luwu ke 73, sekaligus Hari Jadi Luwu ke 751. Semua terlihat melawan.
Bahkan alam pun melawan. Banjir menimpa saudara-sadara kita di Maros, Gowa Jeneponto, dan Makassar. Mohon kita naikkan doa bagi syuhada yang gugur karena bencana ini. Pun doa agar musibah ini cepat berakhir dan tak menimpa kita semua.
Alam memberi isyarat. Bahwa bumi semakin tua. tetapi warganya tidak semakin arif dan bijaksana. Apalagi pemimpinnya.
Tana Luwu butuh mekar supaya tidak makar. Supaya angka-angka yang saya sebut diatas menurun. Supaya negeri yang gemah ripah loh jinawi ini dinikmati pula secara merata bagi anak cucu negeri ini di masa akan datang.
4 Kepala daerah di Tana Luwu sudah bekerja keras. Rakyatnya apalagi.
Tak perlu saya sebut satu per satu alasan mengapa Luwu Tengah wajib dimekarkan. Biarlah itu tugas Caleg yang sedang mengejar kursi.
Kita punya pengalaman buruk mengapa DOB Luwu Tengah gagal.
Bukan karena orang lain, saudaraku.
Tetapi sesama Wija To Luwu saat itu yang tidak bersatu. (Saat ini juga kalee???)
Di Jaman SBY, sebenarnya sisa selangkah lagi, tetapi putar haluan, namun upaya itu gagal dengan munculnya titah bernama Moratorium.
Berkaca dari “kegagalan” itu, political will pemerintah pusat jangan diharap jika elit dan rakyat tak bersatu untuk bersama-sama memperjuangkan.
Maka gerakan mahasiswa yang hari ini memacetkan jalan poros Trans Sulawesi memang sepintas membuat kesal pengguna jalan, tetapi dampaknya ke depan sangat penting bagi nasib dan masa depan Tana Luwu itu sendiri.
Apakah kita harus terus menerus mengemis kebijakan dari pemerintah pusat?
Siapakah tokoh dan elit Tana Luwu yang bisa menyambungkan lidah, antara lidah rakyat dan mahasiswa pendemo dengan lidah penguasa saat ini?
Ternyata kata kuncinya hanya di: lidah.
Sesederhana itu.
Eits, tetapi lidah siapa dulu?
Lidah gubernur?
Lidah anggota DPR RI di Pusat?
Atau lidah 4 kepala daerah se Tana Luwu ini? Yang jelas bukan lidah saya.
Mari merenung. Bukan tentang seberapa banyak pot bunga yang pecah akibat aksi massa yang dihalau aparat. Bukan pula soal polemik kardus dan orang gila yang dipaksa waras untuk masuk ke TPS memilih.
Yang kita renungkan adalah soal lidah tadi.
Karena tanpa lidah, entah lidah siapa, maka kita masih akan terus menerus bersilat lidah, menjulurkan lidah dan bahkan meludah di jalan raya, meneriakkan moratorium dicabut, baik untuk PTN Unanda maupun moratorium Daerah Otonomi Baru (DOB).
Atau jangan-jangan, kita memang butuh Hari Perlawanan Rakyat Luwu Jilid Dua?
Mari membuat sejarah kawanku, adik-adikku, saudara-saudaraku.
Sejarah itu memang mahal. Tetapi buku sejarah itu murah.
Sejarah itu dibuat oleh gerakan tambahan kalian. Ralat. Gerakan tambahan otak kalian.
Kalian tak perlu cerdas di kampus jika ujung-ujungnya hanya jadi tim sukses Caleg.
(Mulai mi makkompa…..)
Jika otak mahasiswa masih dijejali hapal menghapal rumus-rumus dan terminologi tanpa implementasi, maka sejarah kalian itu hanya berkisar soal skripsi, wisuda dan ranjang pengantin, pernihahan dengan teman kampus semata.
Ayolah cetak sejarah! bukan cuma tentang ‘cetak anak’!
Tana Luwu butuh sejarah baru, butuh pemimpin baru tanpa harus mengecilkan peran tokoh-tokoh yang selama ini telah berjuang untuk Tana Luwu.
Maka adik-adik mahasiswa yang hari ini mendapat bonus omelan para pengguna jalan belum seberapa jika dibandingkan dengan omelan yang diterima pejuang Tana Luwu terdahulu, yang tiap saat diomeli penjajah, ditendang dan dijambak sampai ada yang tewas bersimbah darah.
Teruslah berjuang adik-adik mahasiswa, yakinlah, emak-emak pemanen padi dan kopi ada di belakang kalian, termasuk kakak ini yang masih mencoba belajar menulis dengan kaidah-kaidah tulisan yang sempurna dan bermutu di mata kaum jomblo.
Maafkan status WA kakak hari ini: Wanua Mappatuwo, Naewai Pengguna Jalan.
Sekali berjuang tetaplah berjuang, tetap serukan cabut moratorium bagi PTN Unanda dan DOB Luwu Tengah terbentuk menuju Provinsi Tana Luwu atau Luwu Raya. Hanya itu.
Salamakki tapada salama.
Sekian
*) Penulis adalah Presenter Bincang Iccang