HISTORY — Tepat hari ini, 17 Desember 2018, 76 tahun yang lalu lahir seorang pemberontak bernama Soe Hok Gie.
Dalam usianya yang masih terbilang cukup muda, tanggal 16 Desember 1969 Soe Hok Gie menghembuskan nafas terakhir di tanah tertinggi di Pulau Jawa karena (diduga kuat) menghirup gas beracun, pada usia 27 tahun kurang satu hari.
Meski Gie menutup usia pada umur 27 tahun, tapi buah pemikirannya, tulisan-tulisannya yang fenomenal, kritik tajamnya terhadap pemerintah, sampai skripsinya tentang sejarah pemberontakan tetap menjadi bahan diskusi dan perbincangan di kalangan akademisi kampus, mahasiswa, dosen-dosen, bahkan para professor dan peneliti sejarah dari generasi ke generasi hingga saat ini.
Dan ternyata, tak banyak yang mengetahui jika tokoh intelektual Indonesia Soe Hok Gie ternyata pernah berkawan dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto.
Hal tersebut terjadi ketika Gie aktif dalam gerakan bawah tanah anti Soekarno yang berafiliasi dengan Prof. Sumitro Djojohadikusumo yang tak lain merupakan ayah dari Prabowo Subianto.
Ketika Prabowo Subianto pulang ke Indonesia dari Swiss, ia kemudian merekrut beberapa intelektual muda untuk program pembangunan di Indonesia. Soe Hok Gie adalah salah satu tokoh muda yang diajak bergabung oleh Prabowo.
Namun, dalam perjalanannya, Soe Hok Gie sangsi jika Prabowo Subianto dapat mengimplementasikan rencana-rencana yang ia miliki secara efektif dan tepat sasaran.
Saat itu juga Gie mulai giat melancarkan kritik kepada Sumitro dan para pendukung dekatnya karena menurut Gie sejak mereka bergabung dengan Orde Baru apa yang dicita-citakan sudah tak sesuai dengan harapan.
“Dalam rangka pemikiran inilah, timbul rasa muak dari Soe Hok Gie terhadap lingkaran-lingkaran politiknya, yang ia anggap sebagai ‘kaum sosialis salin’,” beber pengisi kata pengantar dalam buku ‘Soe Hok Gie Sang Demonstran’ Daniel Dhakidae dikutip dari historia.id, Senin (17/12/2018).
Lebih lanjut, Gie menyebut bahwa pada saat itu Prabowo Subianto adalah orang pintar yang belum matang. Kala itu belum saatnya tokoh politik yang telah maju di pemilu presiden sebanyak tiga kali ini mengurusi hal-hal yang besar.
“Bagi saya Prabowo adalah seorang pemuda (atau kanak-kanak) yang kehilangan horison romatiknya. Ia cepat menangkap persoalan-persoalan dengan cerdas tapi naif. Mungkin kalau ia berdiam 2-3 tahun dan hidup dalam dunia yang nyata, ia akan berubah,” ungkap Gie, Minggu, 25 Mei 1969, seperti dilansir dari Historia.(**)