Urgensi Menara Payung Ditelaah Komperehensif Palopo Urban Forum

PALOPO — Bertempat di Sudut Kopi, Jumat malam (22/11/2019) diskusi yang diadakan Palopo Urban Forum merespon rencana pembangunan menara payung berjalan dialektis dengan serangkaian tanggapan yang diberikan oleh Penanggap juga oleh para peserta dari kalangan praktisi arsitek, budayawan, organisasi pemuda dan khalayak umum.

Sayangnya, Firmanza, Kepala Bappeda Palopo selaku penanggap yang mewakili pihak Pemkot Palopo batal hadir dalam kegiatan ini.

Amiruddin Akbar Fisu selaku pemantik jalannya diskusi menerjemahkan feasibility study (FS) dengan bahasa yang ringkas dan mudah dipahami oleh peserta. Dikatakan bahwa dalam kajian FS, terdapat beberapa aspek seperti aspek hukum, tata ruang, aspek social budaya dan lain-lain. Namun kajian ekonomi dan finansial menjadi higlight di sesi Amir. Selaku praktisi dan akademisi di bidang pengembangan wilayah dan perencanaan, kesimpulan dari FS yang dibacanya menunjukkan hasil kajian finansial yang tidak layak, sedangkan justifikasi kelayakan ekonomi yang dikatakan layak hanya berdasarkan pada terbukanya lapangan pekerjaan saja.

Sebagai penanggap pertama, Syamsu Alam. Seorang ekonom dan Mantan Komisioner KPU memberikan tanggapan yang menarik. Menurutnya, pembangunan ini harus didukung untuk menopang perubahan kota Palopo menjadi kota jasa terkemuka. Konsep pembangunan ini adalah langkah yang tepat untuk mendukung akselerasi Kota Palopo sebagai tujuan utama di kawasan Hinterland Luwu Raya bahkan merambah Enrekang dan Sidrap sekaligus menunjang industry kreatif dan mengakomodir anak-anak muda Kota Palopo untuk berekspresi. Beliau menambahkan, konsep Loan yang dilakukan oleh Pemkot bukanlah hal yang tabu. Hal ini juga dilakukan Presiden Soekarno ketikan membangun stadion GBK yang hasilnya bisa dinikmati sampai hari ini. Beliau menambahkan bahwa Kota Palopo hari ini membutuhkan landmark sebagai ciri khas Kota Palopo sebagi kota maju.

Dilanjutkan oleh Bata Manurun, Pengurus AMAN wilayah Luwu Raya. Bata dengan tegas menolak rencana pembangunan Menara Payung di kawasan Lalebbata. Baginya, kerjasama dengan cara berutang ini merupakan kerjasama yang saling merugikan. Pemkot masih punya pekerjaan rumah lain yang perlu dituntas, seperti isu Zaro dan Boka yang tidak jelas kabarnya sampai hari ini.

Menurut beliau, pembanguan Menara Payung ini bukan program yang dibuat berdasarkan aspirasi masyarakat, namun dari keinginan pemerintah saja. Apakah sudah tidak ada program lain yang lebih urgent selain Menara Payung? Ditambahkan, kawasan Lalebbata adalah ruang historis yang memiliki nilai kesakralan bagi Wija To Luwu. Sebagai Ware terakhir, kawasan yang ada mempunyai nilai sejarah yang harus dihormati dan kembali dihidupkan dengan pendekatan budaya bukan dengan kerja sama yang merugikan, tutupnya.

Imam Darmwan, Lurah Batupasi yang menjadi kepala pemerintahan di kawasan pembangunan mengungkapkan aspirasi masyarakat setempat yang pernah difasilitasi oleh Palopo Urban Forum melalui kegiatan pemetaan kawasan ex pasar lama. Bagi masyarakat ex pasar lama pernah menjadi bagian sejarah hidup mereka mencari nafkah. Tetapi sejak relokasi kesempatan itu sudah tertutup akibat usia mereka yang tidak muda lagi dan modal yang tidak sedikit untuk menyewa. Mereka berharap hasil usaha rumahan mereka bisa difasilitasi dengan pembangunan ulang ex pasar lama yang ramah lingkungan, ramah anak dan lansia juga terjangkau untuk penyewaannya.

Teman-teman peserta diskusi juga aktif membagikan pendapat mereka. Dimulai dari Ir. Ansari Mas’ud sebagai perwakilan PII Kota Palopo yang sepakat dengan konsep pembangunan menara dengan tinggi 99 meter, tetapi tidak di kawasan Lalebbata. Melainkan tempat lain yang lebih representative dan jika memang harus dibangun, maka tingginya tidak melebihi tinggi dari Langkanae, hal ini sejalan dengan kehendak Opu Datu Luwu menurut beliau. Juga Mantan Kadis Tata Ruang Pemkot Palopo Ir. H Natser Halid yang tidak sepakat karena luas kawasan uang ditempati sangat kecil dan sehingga tidak layak untuk proyeksi menara dengan tinggi 99 m.

Aprianto selaku aktifis Kota Palopo juga turut menanggapi pembangunan Menara Payung dari sisi ekonomi. Menurutnya, kelayakan pembangunan yang hanya dilihat dari sisi ketenagakerjaan merupakan persepsi yang keliru. Alasan pertumbuhan perekonomian harus dilihat secara komprehensif dari berbagai sektor, bukan hanya dari satu sektor saja. Keuangan daerah Kota Palopo dianggap belum mandiri dan tidak balance antara PAD dan belanja modal Kota Palopo. Aprianto meyakini bahwa utang yang dipinjam untuk Menara Payung tidak akan mampu diselesaikan dalam sisa periode jabatan Walikota sekarang, apalagi jika disangkutkan dengan kenaikan BPJS 2 kali lipat yang akan semakin menguras keuangan daerah . Aprianto juga mempertanyakan kajian yang dilakukan oleh konsultan FS dengan memasukkan unsur pendapatan dari para penjual di Lapangan Pancasila yang harus menyewa stand jika beralih ke Menara Payung. Belum lagi para pengunjung yang harus membayar tiket masuk sebesar Rp15.000 hingga Rp150.000. Hal tersebut akan membuat pelaku usaha berfikir untuk beralih dari Lapangan Pancasila ke Menara Payung.

Sementara Herman, peserta diskusi, turut menyampaikan, sepakat dengan pembagunan menra payung ini untuk menjadi sentra ekonomi baru di Kota Palopo melanjutkan kesuksesan lapangan pancasila menjadi ruang publik dan ekonomi kreatif masyarakat. Beliau menambahkan bahwa bukan menjadi tugas pemerintah untuk mencari keuntungan. Herman menganalogikan program Menara Payung dengan kebijakan BBM satu harga serta pembangunan infrastruktur strategis yang dilakukan oleh Presiden Jokowi yang juga dengan cara berutang. Menurutnya, pembayaran utang ini bisa dilakukan dengan cara efisiensi anggaran-anggaran di SKPD yang selama ini tidak begitu terasa manfaatnya.

Salah satu peserta diskusi sebagai masyarakat juga memberikan pendapat terkait terbukanya lapangan pekerjaan yang merupakan efek positif dari dibangunnya Menara Payung, sekaligus sebagi stimulus pertumbuhan perekonomian di Kota Palopo. Beliau juga berharap pemerintah dapat membuat program semacam “siapa mau kerja apa?”. Ini merupakan program yang sangat baik untuk memaksimalkan multiplayer effect dari pembangunan Menara Payung.

Berbeda dengan Herman, Afif Hamka, selaku warga Batupasi, menolak dengan alasan pembangunan ini terkesan lebih mengedepankan ambisi pribadi bukan perencanaan yang menimbang aspek ekonomi dan lingkungan. Menurutnya kalau memang tujuannya untuk menghidupkan ex pasar lama dan memicu denyut nadi perekonomian kota, mengapa kita hanya terpaku harus membuat Menara Payung? Tanpa adanya Menara Payung yang berbiaya tinggi tersebut, pemerintah dapat membuat ruang-ruang perekonomian yang berbiaya lebih murah, lebih terjangkau oleh masyarakat, tanpa meninggalkan entitasnya sebagai Kawasan yang memiliki nilai histori.

Mantan Lurah Batupasi ini menyarankan, sebaknya pembangunan kawasan ini lebih difokuskan pada aktifitas-aktifitas perekonomian terlebih dahulu. Jika aktifitas perekonomian sudah mulai hidup, baru kemudian merencanakan bangunan ikonik sebagai landmark Kota Palopo.

Musly juga mengutarakan pendapatnya dengan perencanaan kawasan ini sebagai kawasan wisata sejarah, mengingat banyaknya bangunan cagar budaya dan bangunan tua yang terdapat pada Kawasan itu. Musly menambahkan, bahwa pembangunan Kota Palopo hari ini mengalami krisis identitas yang selalu berorientasi pada bangunan-bangunan dengan desain yang modern, termasuk Menara Payung. Kawasan ini sebaiknya dijadikan alun-alun untuk meningkatkan perekonomian masyarakat, dan tidak perlu dibangun Menara. Menurut Musly, jika ada bangunan disekitar Istana Datu yang lebih tinggi dari Langkanae, maka hal tersebut sangat tidak beretika.

Amiruddin kemudian menutup diskusi dengan menyatakan bahwa kritik yang diberikan kepada pemerintah merupakan bentuk kepedulian masyarakat terhadap pembangunan di Kota Palopo.

Foto: IG Palopo Urban Forum

Video diskusi disini.

(*)

Pos terkait