SOLO — Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyayangkan penolakan sebagian besar orangtua siswa di salah satu sekolah dasar (SD) terhadap siswa atau anak terkena HIV/AIDS.
Sekolah dasar yang orangtuanya menolak siswa anak terkena HIV/AIDS itu berada di Solo, Jawa Tengah.
Ada 14 siswa di SD yang diduga mengidap HIV/AIDS.
Karenanya ke-14 siswa SD itu kini rerpaksa meninggalkan bangku sekolah.
Mereka tidak diperbolehkan masuk ke kelas dan datang ke sekolah oleh sebagian besar wali murid dan orangtua siswa lainnya.
“Kami menyayangkan penolakan ini. Hal ini bisa terjadi karena kurangnya pengetahuan masyarakat dan keterbatasan pemahaman mereka atas HIV/AIDS,” kata Komisioner KPAI bidang Pendidikan Retno Listyarti, Kamis (14/2/2019) yang dilihat di WartaKota Tribun News.
Menurut Retno, ini bukan pertama kalinya anak terkena HIV/AIDS ditolak bersekolah di sekolah formal oleh orang tua siswa lainnya, dengan alasan mereka bisa menulari siswa lainnya.
“Padahal penularan tidak semudah itu. Bahkan bersalaman, berpelukan, makan dan minum bareng dengan penderita HIV/AIDS tidak akan membuat kita tertular virus tersebut,” kata Retno.
Hal ini kata dia tampaknya belum diketahui dan dipahami seluruh maayarakat.
Ia menjelaskan penolakan terhadap siswa terkena HIV/AIDS di sekolah pernah terjadi di Jakarta pada 2011, lalu di Gunung Kidul, Yogjakarta pada 2012 dan pada 2018 terjadi pada 6 anak di Nainggolan, Samosir, Sumatera Utara.
Alasan penolakan umumnya adalah kekhawatiran anak-anak lain di sekolah tersebut tertular HIV dari siswa pengidap HIV/AIDS.
Padahal, penularan virus HIV sangat spesifik dan harus melalui cara khusus dan tertentu.
Yakni melalui cairan Air Susu Ibu (ASI) dari ibu ke anak atau bayinya, lewat cairan vagina atau cairan sperma saat pasangan berhubungan badan, serta melalui cairan darah lewat transfusi darah atau penggunaan jarum suntik bergantian.
Sementara itu, bergaul sangat dekat dengan pengidap HIV/AIDS sama sekali tidak akan tertular. Mulai bersalaman, berpelukan, bahkan makan dan minum bareng dengan penderita HIV/AIDS, tidak akan membuat terjadinya penularan virus HIV tersebut.
“Jadi karena keterbatasan pengetahuan masyarakat, maka terjadilah penolakan kuat dari masyarakat terhadap anak penderita HIV yang bersekolah di sekolah regular. Akibatnya anak-anak ini kehilangan hak atas pendidikannya,” kata Retno.
Atas penolakan 14 anak pengidap HIV/AIDS di salah satu SD di Kota Solo ini kata Retno, KPAI menyampaikan sejumlah hal.
“Pertama, KPAI mendorong pemerintah (baca KEMDIKBUD RI), Pemerintah Kota Solo, dan masyarakat untuk melindungi serta memenuhi hak-hak dasar anak korban penderita HIV tersebut sebagaimana tertuang dalam UU RI No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak,” katanya.
Menurut Retno di sejumlah pasal di UU Perlindungan Anak (PA), tertuang jelas hak anak atas pendidikan dan pengembangn diri, serta adanya pidana bagi siapapun yang merenggut hak anak itu.
Bahkan dalam UU PA itu juga disebutkan adanya perlindungan khusus bagi anak pengidap HIV/AIDS.
Pasal-pasal UU PA yang Atur Hak Anak-anak
Rinciannya kata Retno pada Pasal 9 (1) mengatakan setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakat.
Kemudian Pasal 9 (1.a) menyatakan bahwa setiap anak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain.
Pasal 59.g. bahwa Pemerintah, Pemerintah Daerah dan lembaga Negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan Perlindungan Khusus kepada Anak (Anak Dengan HIV/AIDS)
Pasal 67.C. Perlindungan khusus Anak dengan HIV/AIDS sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 ayat (2) huruf g dilakukan melalui upaya pengawasan, pencegahan, pengobatan dan rehabilitasi.
Pasal 76A. Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak.
Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 76A dipidana dengan pidana penjara dan serta denda.
“Jadi mendiskriminasi apalagi menolak seorang anak dengan HIV untuk sskolah, jelas melanggar seluruh ketentuan peraturan perundangan tersebut,” kata Retno.
Lalu mengeluarkan anak pengidal HIV dari sekolah merupakan bentuk kekerasan terhadap anak yang akan berdampak berat pada psikologis dan berdampak pada menurunnya kondisi kesehatan anak tersebut.
Karenanya kedua, kata Retno, KPAI mendorong dan meminta agar negara hadir dan segera memenuhi hak pendidikan 14anak pemlngidap HIV/AIDS itu.
“Mereka seharusnya dapat bersekolah di tempat yang mereka inginkan, yaitu sekolah formal. Mereka ingin bergaul, bersosialisasi, bermain, mengembangkan potensi dirinya, dan berprestasi seperti anak lain di masa pertumbuhannya,” papar Retno.
Ketiga tambah Retno, KPAI menyesalkan status kesehatan ke-14 anak tersebut terbuka ke publik sehingga memunculkan stigma negatif terhadap anak-anak itu yang akan berpotensi membuat mereka tertekan secara psikologis, menutup diri dan menganggu tumbuh kembangnya.
“Seharusnya ada sanksi terhadap para pelaku yang membuka ke public status kesehatan seorang anak” katanya.
Keempat kata Retno, mengingat potensi kasus serupa cukup besar, maka KPAI mendorong pemerintah pusat yakni Kemendikbud, Kemenkes dan Kemenag bekerjasama dalam mensosialisasikan bahwa penyakit HIV/AIDS tidak menular hanya karena kontak fisik, namun penularannya sangat spesifik.
“Sasaran sosialisasi adalah guru, siswa dan orangtua siswa,” kata Retno.(*)