Banyak Versi Penyebab Banjir Bandang di Luwu Utara, Versi Siapa yang Paling Masuk Akal?

MEDU.ONLINE | Banjir bandang yang memporakporandakan Bumi Lamaranginang nama julukan bagi Luwu Utara 13 Juli 2020 lalu masih tetap hangat dan jadi bahan diskusi di tengah masyarakat luas.

Apalagi, aroma Pilkada yang semakin dekat pada tahapan pendaftaran Pasangan Calon, maka semakin wangi saja tindak tanduk perilaku elit politik saat ini.

Bacaan Lainnya

Dari berbagai sumber, rata-rata disebutkan bahwa selain faktor alam juga faktor manusia menjadi sebab utama banjir bandang yang mengakibatkan puluhan orang meregang nyawa, ratusan mengalami luka dan ribuan warga menjadi pengungsi karena rumahnya terendam banjir dan pasir lumpur kiriman, serta kayu-kayu gelondongan.

Soal penyebab banjir bandang ini sendiri hingga kini menimbulkan pro kontra, meski banyak pihak sudah menganalisis dugaan penyebab banjir yang disebut-sebut kalangan sebagai kejahatan lingkungan hidup terbesar di Sulsel.

Diantara institusi dan lembaga yang sudah mengeluarkan statement soal penyebab banjir adalah Polda Sulsel, WALHI, BNPB,  Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), LAPAN, BMKG, AMAN Tana Luwu dan juga Pusat Studi Kebencanaan Unhas.

 

Versi Polda Sulsel

Penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Sulsel telah menyelidiki penyebab banjir bandang dan longsor di Luwu Utara yang mengakibatkan puluhan warga tewas.

Dari hasil penyelidikan itu, Direktur Krimsus Polda Sulsel Kombes Pol Agustinus Pangaribuan mengatakan, bencana tersebut murni karena faktor alam dan bukan disebabkan karena illegal logging.

“Sementara bukan karena illegal logging, eksploitasi hutan dan lain-lain tapi karena faktor alam,” kata Agustinus melalui pesan singkat, Kamis (6/8/2020) dilansir Kompas.com.

Hasil penyelidikan tersebut didapatkan usai polisi memeriksa beberapa orang yang berasal dari Luwu Timur. Beberapa saksi yang diperiksa mulai dari tokoh masyarakat, pejabat desa, hingga masyarakat yang wilayahnya terdampak banjir dan longsor.

“Seperti itu intinya. Banyak saksi-saksi. Masyarakat dari kantor desa dan lain-lain,” kata Agustinus. Pernyataan polisi tersebut kontras alias bertolak belakang dengan analisis yang dilakukan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulsel yang menyebut banjir dan longsor di Luwu Utara adalah bencana ekologis.

 

Versi WALHI

Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) menuding, bencana banjir bandang di Luwu Utara sebagai bencana ekologis yang disebabkan perubahan fungsi hutan menjadi lahan perkebunan kelapa sawit.

WALHI Sulawesi Selatan mengatakan, hutan seluas 22 ribu telah diubah fungsinya menjadi lahan perkebunan kelapa sawit sejak 2018. Perubahan fungsi ini, menurut WALHI, menjadi penyebab banjir bandang. Organisasi lingkungan itu mengatakan batang-batang kayu dalam jumlah besar yang ikut terbawa banjir ke kawasan permukiman masyarakat menjadi bukti kuat pengrusakan hutan di bagian hulu maupun daerah aliran sungai.

“Sangat terang benderang bahwa kerusakan lingkungan di kabupaten Luwu Utara yang kemudian menimbulkan bencana banjir bandang itu disebabkan karena pembukaan lahan hutan untuk perkebunan kelapa sawit,” kata Muhammad Al Amin, Direktur Eksekutif WALHI Sulawesi Selatan, Senin (20/7) dikutip dari laman Voa Indonesia.

Al Amin dalam wawancaranya dengan VOA Indonesia mengungkapkan perubahan fungsi kawasan hutan menjadi areal perkebunan kelapa sawit itu menurunkan kemampuan kawasan hulu dan daerah aliran sungai dalam menampung curah hujan yang tinggi. WALHI kini sedang menginvestigasi perizinan pembukaan perkebunan sawit di tiga lokasi di hulu dan daerah aliran sungai di Luwu Utara itu.

WALHI sendiri sejak 2014 sudah mengkampanyekan tentang pentingnya menjaga kelestarian kawasan hutan di bagian utara Sulawesi Selatan yang disebut sebagai rimba terakhir.

Al Amin mengatakan kawasan hutan yang murni masih tertutup pepohonan dan ekosistem hutan hanya tersisa 1,3 juta hektar dan umumnya berada di Luwu Timur, Luwu Utara, Enrekang dan Toraja.

“Sehingga kami dengan segala upaya mendesak dan mengajak pemerintah provinsi dan kabupaten untuk menyelamatkan dan melindungi hutan terakhir Sulawesi Selatan yang berada di utara Sulawesi Selatan, salah satunya di Luwu Utara. Tapi faktanya di 2018 terjadinya pembukaan, kawasan hutan – artinya yah harus saya katakan kampanye kami masih terbilang gagal,” aku Al Amin.

Dia menekankan bencana banjir bandang di Luwu Utara itu harus menjadi pembelajaran penting bahwa menjaga kelestarian hutan sama dengan menjaga kehidupan manusia dari bencana.

 

Versi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Yuli Utami, Kasubdit Kelembagaan DAS, Direktorat Perencanaan dan Evaluasi Pengendalian Daerah Aliran Sungai pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menjelaskan bahwa banjir bandang di Luwu Utara disebabkan oleh faktor alam dan faktor manusia. Faktor alam yang dimaksud di antaranya adalah curah hujan yang cukup tinggi di daerah aliran sungai Balease yang intensitasnya di atas 100 milimeter per hari.

“Yang kedua adalah faktor manusia, adanya pembukaan lahan di hulu DAS Baliase dan penggunaan lahan masif berupa perkebunan kelapa sawit,” kata Yuli Utama dalam konferensi pers secara virtual, Minggu (19/7) lalu yang juga terekam dalam Youtube resmi BNPB.

KLHK merekomendasikan penekanan hukum terkait dengan pembukaan lahan di kawasan hutan lindung serta pemulihan lahan terbuka di bagian hulu dengan rehabilitasi hutan dan lahan.

 

Versi LAPAN

Rokhis Khomarudin Kepala Pusat Penginderaan Jarak Jauh, LAPAN, mengatakan berdasarkan analisa citra satelit Landsat 2010 dan 2020 telah terjadi perubahan luas tutupan hutan besar-besaran di daerah aliran sungai Balease, Rongkong dan Amang Sang An.

“Menunjukkan adanya penurunan hutan primer sekitar 29 ribu hektar, kemudian peningkatan pertanian lahan basah sekitar 10.595 hektar dan peningkatan lahan perkebunan itu sekitar 2.261 hektar,” kata Rokhis dalam konferensi pers secara virtual.

Meskipun demikian, Rokhis menilai perubahan luas tutupan hutan itu bukan penyebab utama banjir bandang di Luwu Utara. Menurutnya,bencana alam itu lebih diakibatkan curah hujan yang tinggi, yang mengguyur wilayah itu sejak 12 hingga 13 Juli yang secara keseluruhan berlangsung selama 18 jam.

 

Versi BNPB 

Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Raditya Jati mengungkap ada beberapa dugaan penyebab bencana tersebut. “Asumsi pertama curah hujan yang tinggi, kemungkinan kedua peralihan lahan karena ada penambangan, kemudian sejarah patahan yang mengakibatkan kondisi formasi di kawasan hulu lemah,” ujarnya mengutip Republika.co.id, edisi Senin (20/7).

Kemudian, dia menambahkan, persoalan tata ruang juga menjadi dugaan pihaknya. Artinya ia menyebutkan kalau melihat daerah aliran sungai (DAS) yang menimbulkan banjir bandang maka perlu dinilai bagaimana kawasan di sekitar sungai itu. Misalnya permukiman, penggunaan lahan untuk persawahan, aktivitas masyarakat, sekolah, hingga infrastrukturnya.

“Tetapi lagi-lagi itu semua asumsi atau analisis yang perlu diselidiki lagi dengan hati-hati. Evaluasi ini kan bukan berarti buruk, jadi jangan buru-buru menyimpulkan,” katanya.

Apalagi, pihaknya mendapatkan data satelit bahwa sudah ada daerah bencana yang mulai tertutup oleh vegetasi. Artinya, dia mengakui kondisi di daerah tersebut dinamis. Kini, ia menyebutkan jajaran pemerintah pusat telah melakukan review mendalam mengenai hal ini.

Ia menyontohkan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sudah menggambarkan cuaca dan iklim di daerah itu. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Kementerian LHK) juga diakuinya telah memberikan penilaian. Kemudian, ia menyebutkan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) juga telah membahas tata ruang di daerah bencana. Selain itu, ia menyebutkan pihak pemerintah daerah setempat juga ikut menilai tata ruang di daerahnya. Terkait target kapan kajian ini rampung, pihaknya tidak bisa memastikan waktu pasti. “Karena banyak yang harus dinilai, dikaji. Yang jelas bupati ingin segera selesai,” katanya.

 

Versi AMAN Tana Luwu

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tana Luwu lewat siaran persnya, Jumat 14 Agustus 2020 memastikan, jika salah satu pemicu bencana ekologis tersebut adalah tata kelola lingkungan hidup yang dianggap amburadul.

Luas hutan di Luwu Utara 750,268 Hektar adalah yang terbesar di Sulsel, tulis AMAN Tana Luwu mengawali keterangan tertulisnya kepada awak media.

Ketua AMAN Tana Luwu, Bata Manurun mengatakan, banjir bandang yang terjadi di Luwu Utara merupakan salah satu bencana yang terbesar di Tana Luwu. Salah satu faktor yang mendasar terjadinya banjir bandang di Luwu Utara disebabkan intensitas hujan yang tinggi yang mengakibatkan terjadinya longsor di beberapa titik di Hulu.

“Banyak hasil investigasi yang sudah diberitakan terkait penyebab banjir dan hampir semua hasil investigasi menyoroti kejadian yang ada di Hulu dan dampak yang ada di Hilir, tetapi belum ada satupun yang mengungkap atau menyampaikan ada apa sajakah di daerah tengah antara hulu dan hilir?,” kata Bata.

Lanjut dia, “pengamatan lapangan yang dilakukan oleh AMAN Tana Luwu sebelum banjir bandang, bahwa daerah Radda dan Masamba yang terdampak banjir bandang terdapat beberapa perkebunan kelapa sawit yang dimiliki empat perusahaan pemegang izin dan satu lokasi peternakan sapi yang diperkirakan luas lahan keseluruhan 23 ribu hektar,” imbuh Ketua AMAN Tana Luwu itu.

Dan semua lokasi, ini merupakan alih fungsi, pengamatan lain juga yang dihimpun oleh AMAN adalah di bagian hulu ada beberapa tempat aktivitas pengambilan kayu (illegal loging) yang semua pesanan dari luar tentunya juga ini dilakukan karena ada izin, ungkapnya.

AMAN Tana Luwu nantinya kembali akan merilis beberapa fakta-fakta lapangan terkait alih fungsi lahan di Lutra dan aktivitas lainnya, tambah Bata.

“Nanti akan kami sampaikan ke semua pihak untuk diketahui dan sebagai bahan pembelajaran serta evaluasi kesalahan dan sekaligus tawaran solusi bagaimana cara mengurus hutan yang baik, tetapi terlepas dari itu semua, Negara dalam hal ini Pemerintah harus jujur mengakui kesalahannya dalam mengurus hutan dan meminta maaf kepada masyarakat atas kelalaiannya tersebut sehingga mengakibatkan banyaknya korban serta kerugian materi yang dialami warga Luwu Utara,” ulasnya.

Masih lanjut Bata, “kalau daerah penyangga masih bagus banjir tentu tidak akan separah ini karena sebahagian besar akan tertahan di tengah, tapi karena daerah penyangga sudah rusak karena alih fungsi hutan jadi perkebunan sawit makanya seperti begini parahnya,” pungkasnya.

 

Diprediksi sejak 2019 oleh Pusat Studi Kebencanaan Universitas Hasanuddin (Unhas)

 

Potensi bencana di Luwu Utara telah dikaji Pusat Studi Kebencanaan Universitas Hasanuddin (Unhas) sejak 2017 lalu.

Pada 2019, hasil penelitian diterbitkan dalam Journal of Physics.

Dalam laporan itu, Luwu Utara disebut sebagai salah satu daerah dengan risiko tinggi banjir mengingat wilayah hulu sungai di Masamba terjadi degradasi akibat banyak kawasan yang dialihfungsikan.

Banjir bandang pun rawan terjadi lantaran intensitas hujan yang ekstrem terkait pemanasan global.

“Banyak dialihfungsikan lahan di sana, entah itu untuk pemukiman, perkebunan, entah itu logging atau sebagainya. Nah dua hal inilah yang mengakibatkan terjadinya banjir bandang kemarin,” kata Ketua Pusat Studi Kebencanaan yang juga Guru Besar Teknik Geologi Unhas, Profesor Adi Maulana.

Prof Adi menyebutkan, Pemerintah Kabupaten Luwu Utara semestinya kembali melihat rencana tata ruang wilayah. Karena fungsi hutan di hulu sungai tidak bisa dijadikan sebagai hutan produksi atau perkebunan.

“Sehingga itu sudah mutlak harus dijaga, karena dekat dengan pemukiman warga. Jika dialih fungsikan untuk perkebunan harus dipastikan apakah tidak mempengaruhi daya dukung sungai,” tutur Prof Adi kepada wartawan di Sulawesi Selatan, Darul Amri, yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

 

Pengamatan BMKG

Kepala Bidang Analisis Variabilitas Iklim Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika ( BMKG) Indra Gustari mengatakan, dari pengamatan diketahui bahwa penyebab banjir bandang di Luwu Utara, Sulawesi Selatan pada 13 Juli 2020 lalu dikarenakan curah hujan yang tinggi. Curah hujan tinggi tersebut tidak terjadi di hari terjadinya banjir, melainkan sejak beberapa hari sebelumnya.

“Kasus 13 Juli, sebenarnya curah hujan yang diamati di permukaan tidak tinggi, yaitu di bawah 50 milimeter dalam 10 hari. Tapi curah hujan sebelumnya tanggal 12 Juli sudah tinggi, di atas 50 milimeter dalam 10 hari,” ujar Indra dalam konferensi pers di BNPB, Minggu (19/7/2020) seperti dilansir Kompas.com.

Dengan demikian, kata dia, curah hujan yang menyebabkan banjir bandang di Kecamatan Masamba, Kabupaten Luwu Utara, tidak hanya berasal dari yang terjadi tanggal 13 Juli saja. Namun hal tersebut juga merupakan akumulasi dari hujan pada hari-hari sebelumnya.

Berdasarkan pengamatan di permukaan, kata dia, Luwu Utara merupakan daerah yang memiliki curah hujan hampir tinggi sepanjang tahun. Curah hujan di wilayah tersebut selalu ada di kisaran 50 mm sepanjang tahun.

Puncak hujannya pun berada pada periode akhir Maret hingga akhir Juni. Perbedaan periode tersebut dikarenakan wilayah Indonesia memiliki pola cuaca dan iklim yang tidak seragam. (*)

Pos terkait