Oleh: M. Nigara
KOLOM — KAMIS (9/8/18) malam, kediaman Prabowo Subianto, di Kertanegara 4, Kebayoran Baru, nyaris disesaki orang. Di dalam dan di luar begitu luar biasa. Ya, itulah saat-saat akhir Koalisi *Gerindra, PAN,* dan *PKS* akan mengumumkan pasangannya untuk Pilpres 2019.
Hiruk-pikuk benar-benar terjadi begitu rupa. Di ruang tengah orang berkelompok-kelompok membahas berbagai hal, seru sekali. Di dalam ruang khusus, Prabowo, Amien Rais, Zulkifli Hasan, Khotibul Iman, Salim Segaf Aljufri, Fuad Bawazier, Maher Algadri, Ahmad Muzani, Yusuf Martak, Slamet Maarif, Sobri Lubis dan belasan ulama lain, juga tak kalah seru. Mereka berkutat mematangkan keputusan untuk pencalonan Prabowo.
Jarum jam rasanya terlalu lambat bergerak. Sementara itu, di luar kediaman, ratusan wartawan dan calon-calon relawan, sudah tak sabar. Suara-suara mereka seperti gemuruh yang menembus hingga ke ruang tengah K-4.
Ya, mereka ingin mendengar langsung soal cawapres. Meski nama Sandi Uno sudah mencuat, tapi desas-desus nama lain juga masih terdengar.
Saya sama sekali tidak lagi tertarik pada situasi itu. Saya yakin Sandi Uno pasti akan dipilih. Kisah itu bisa di _rechek_ kepada Ustadz Sambo, Chandra Tirta Wijaya, Samad, dan beberapa nama lainnya. Saya justru tertarik pada demokrat, partai pimpinan SBY.
Seperti kebiasaan saya sebagai wartawan, saya fokus mencari yang paling menarik, wakil Demokrat. Menurut info yang saya terima, dua tokoh partai itu masih berkutat untuk bisa masuk koalisi Jokowi. Meski SBY sudah bertemu dengan Prabowo, dan sama-sama menyatakan tidak mempermasalahkan soal posisi AHY sebagai cawapres, tapi rumor yang beredar di luaran justru berbeda. Justru di situlah uniknya.
Menurut rumor, SBY sebetulnya ingin putranya menjadi cawapres. Hal ini sudah dibantah, tapi orang tetap tidak percaya begitu saja. Jadi, masuk di akal jika hingga jam 20.00, Kamis (9/8/18) utusan Demokrat belum kelihatan juga.
Tepat jam 20.30, Sekjen Demokrat, muncul juga. Ia datang sambil membawa map yang saya dan semua orang yang ada di kediaman Prabowo, yakini berisi surat dukungan. Di ruang tengah, dalam obrolan yang tambah seru, beragam pandangan bermunculan. Tak jelas berapa banyak yang mengharapkan Demokrat di terima, berapa banyak yang berharap Prabowo menampik surat itu.
Alasannya juga macam-macam, tapi satu di antaranya biar dapat pelajaran.
Kepala saya berputar ke banyak persoalan. Satu di antaranya soal tarik-ulur RUU pilkada dan pilpres 2014, di penghujung SBY sebagai Presiden. Awalnya hangat, di ujungnya padam.
Kembali ke K-4, saat Demokrat akhirnya muncul juga, banyak spekulasi bermunculan. Satu di antaranya: Jika surat itu ditampik, apa yang akan terjadi? Demokrat akan kehilangan kesempatan 2024, begitu kata UU pemilu.
Menurut Pasal 235 ayat 5, UU Pemilu berbunyi: _dalam hal partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi syarat mengajukan pasangan calon tidak mengajukan bakal pasangan calon, partai politik bersangkutan dikenai sanksi tidak mengikuti pemilu berikutnya._
*Baik Hati*
Ternyata harapan banyak orang tidak terkabul. Selepas kedatangan Sekjen Demokrat, Prabowo justru keluar ruangan sambil berujar singkat: “Alhamdulillah akhirnya Demokrat menyatakan dukungan!”
Banyak yang menyambutnya dengan takbir, tapi tidak sedikit yang agak kecewa. “Mestinya jangan diterima biar mereka tahu,” gumam mereka yang kecewa.
Dengan posisi itu, Demokrat selamat. SBY bisa mencalonkan putranya sebagai presiden pada tahun 2024. Tentu tidak bisa sendirian, Demokrat karena suara demokrat tak cukup, jadi harus tetap berkoalisi.
Seandainya malam itu Prabowo menolaknya, maka Demokrat sungguh-sungguh menjadi partai yang malang. Beruntung Prabowo berbaik hati. “Itulah kelebihan sekaligus kekurangan beliau!” kata Mayjen (purn) Glenny Kairupan, sahabat saya sejak di Inkai tahun 1980-an.
Prabowo seperti melupakan ucapan nyinyir wasekjen Demokrat, Andi Arief, soal jendral kardus.
Bahkan Prabowo juga melupakan kisah pilu pilpres 2014. Konon saat itu Prabowo-Hata memenangkan pertarungan dan konon pula SBY sebagai presiden punya datanya -meski SBY sendiri telah membantahnya berkali-kali – yang menyatakan kemenangan itu.
*Tidak etis*
Lepas dari semua itu, langkah AHY menemui Jokowi dan datang dalam undangan kepala daerah di Bogor baru-baru ini, sungguh seperti mengabaikan kebaikan hati Prabowo.
Diundang atau datang sendiri, ke Istana Negara dan ke Istana Bogor, sungguh tidak etis. Apa pun alasannya, untuk mendinginkankah atau apa pun, sekali lagi kurang tepat.
Diakui atau tidak, jika malam itu Prabowo, Gerindra, PAN, dan PKS menolak surat itu, bisakah AHY diundang Jokowi atau oleh kepala-kepala daerah pendukung 01 ke Bogor? Jawabnya, pasti tidak bisa.
Belum lagi pernyataan tokoh-tokoh Demokrat yang secara terbuka menolak kebijakan Prabowo untuk menolak mengakui hasil KPU. Alih-alih mendukung Prabowo dan koalisi yang menemukan banyak kecurangan, Demokrat malah mengambil garis berbeda, meski itu memang haknya.
Sungguh, langkah demokrat kurang terpuji. Saat ini mereka terkesan bukan hanya membiarkan Prabowo dalam kesulitan, tapi mereka juga langsung atau tidak, bisa melemahkan koalisi.
Meski kasat mata sebagai wartawan, saya justru melihat Prabowo justru tidak merasa sulit dan koalisi justru makin mantap, tentu tanpa demokrat.
Kalau saja Prabowo tidak berbaik hati, sangat dimungkinkan Demokrat akan padam di 2024. Sungguh tak masuk di akal jika akhirnya begini balasan Demokrat.
Wallahu ‘alam….
(*)