Oleh : Fikram Kasim
Di penghujung akhir tahun 2017, selain ramai diperbincangkannya ketepatan berpergian dan hendak siapa yang mendampingi melewati malam pergantian tahun, ada sesuatu yang mesti direfleksikan secara utuh dan penuh, yakni mengulas kembali sejarah sudah sejauh mana kita berdiri, bertahan, maju atau mundur sekalipun. Revolusi mental dan sajian keruntuhan moral adalah yang dimaksudkan penulis sebagai bahan untuk kita bersama, khususnya para pe muda agar mampu memasuki ruang refleksi serta mampu bersaing dalam mentadaburi diri guna membangun pondasi kesadaran yang penuh hidmat.
Menilik kembali visi dan misi yang dibawa oleh orang nomor satu di Indonesia Joko Widodo, pernah sempat menggaungkan dan belum juga dirampungkan terkait revolusi mental, tepatnya berada dalam point nomor delapan dari sembilan cita-cita yang akan dibangun dan diciptakan oleh pria kelahiran Solo. Tepatnya berbunyi: melakukan rovolusi karakter bangsa melalui kebijakan penataan kembali kurikulum pendidikan nasional dengan mengedepankan aspek penididkan kewarganegaraan, yang menempatkan secara proporsional aspek pendidikan.
Sebagaimana yang kita ketahui, fenomena yang tersingkap menunjukkan wajah Indonesia secara nyata menampilkan kejengkelan amat murka. Berbagai contoh kasus disajikan setiap waktunya. Mulai dari ramai-ramai penistaan kopi atas kematiannya Mirna oleh Jessica yang sehingga membuat terjadinya prosesi dramatisasi persidangan dihadapan khalayak publik, juga bergesernya nilai produktivitas dan hilang nilai kreativitas serta sikap inovatif dari kawula muda. Bagaimana tidak, dahulu disetiap persimpangan jalan kita sering mendapatkan suguhan berderetnya beberapa sepeda motor didampingi oleh sang pemilik, yang umumnya berkencerungan diminati oleh para pejuang usia lanjut, yang konon ketika zamannya, para kawula muda menganggap serta tidak berkeinginan tidak seperti yang demikian, yakni menjadi tukang ojek. Tapi saat ini, melihat kenyataan yang ada, Indonesia dihadapkan oleh tawaran kekecewaan, di mana setiap harinya wilayah kemayoran selalu dipadati oleh pendominasian usia muda untuk mengantri demi mendapatkan jaket hijau cemerlang juga penghias kepala sebagai pelindung.
Belum lagi persoalan yang dinilai sangat kompleks karena dihampiri oleh seluruh golongan, juga khususnya pemuda lagi-lagi. Di mana seseorang akan dengan mudah mengikuti tren hanya ingin dianggap keren. Yang padahal hal tersebut hanya berujung pada suatu kebanggaan ketika disudahinya klaim modernitas oleh hitungan orang. Artinya apa yang kita lakukan seakan hanya puas pada pencapaian pengakuan semata, tanpa ada suatu sumber yang dibangun sebagai kebanggaan yang bernilai spektakuler dari kearifan produktivitas, baik esensi maupun substansi.
Kemudian, bicara obyektivitas maka juga perlu ditimbang dari sisi keberhasilan atas pencapaian yang telah dimaksimalkan oleh Joko Widodo melalui sembilan cita-citanya. Telah diketahui secara bersama, bahwa memasuki tiga tahun pemerintahan Jokowi-JK terkait pembangunan infrastruktur digencarkan dimana-mana, baik di pusat kota maupun di wilayah terpencil sekalipun. Tentu hal yang dmeikian mendapat nilai apresiasi juga cemoohan dari berbagai sudut pandang. Hemat saya, perputaran roda kehidupan melalui potensi sosial, politik dan juga ekonomi memang bis aditinjau dari aspek keberhasilan atas kemajuan pembangunan infrastruktur, tapi perlu diingat, bahwa pembangunan atas infrastruktur tidak bersifat kekal, melainkan hanya sementara. Artinya pembangunan yang saat ini sedang digiatkan bisa kita hitung hanya mampu bertahan sekitar lima sampai sepuluh tahun kedepan. Tentu ada hal yang lebih darurat dari persoalan pembangunan infrastruktur, yakni pembangunan mental. Dimana mental adalah pondasi utama yang perlu dimiliki oleh setiap jiwa sebagai potensi kemajuan yang hakiki.
Juga, atas hal yang demikian wajah Indonesia menjadi congkak atas penyajian keruntuhan moral yang perlahan mulai menggrogoti dan menyerang setiap manusia. Mengacu terhadap perkembangan, perubahan sosial yang berada di sekeliling bukan saja menjadi memiskinkan kita secara kuantitas, juga mempengaruhi muatan lokal yang kita miliki menjadi miskin etika dan bersikap sebagai bentuk cerminan dan ekspresi kehidupan.(*)
*) Penulis adalah Presiden Mahasiswa IAIN Palopo Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Semester 9.