Misteri Cap Jempol di Amplop Serangan Fajar, Jubir KPK: Pilih yang Jujur!

Penyidik menunjukan barang bukti disaksikan oleh Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan (kiri) saat konferensi pers terkait Operasi Tangkap Tangan (OTT) kasus korupsi Bupati Mesuji di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (24/1/2019). Dari OTT tersebut KPK menyita barang bukti berupa uang dalam pecahan Rp100.000 senilai Rp1.280.000.000, serta mengamankan lima orang tersangka salah satunya adalah Bupati Mesuji Khamami terkait korupsi proyek infrastruktur di Dinas PUPR Kabupaten Mesuji. ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/pd.

JAKARTA  — Anggota Komisi VI DPR dari Fraksi Golkar, Bowo Sidik Pangarso telah ditetapkan sebagai tersangka suap dan gratifikasi. Bowo diduga telah menerima suap sebesar Rp 310 juta dan US$ 85.130 atau sekitar Rp 1,2 miliar dari Marketing Manajer PT Humpuss Transportasi Kimia (HTK), Asty Winasti.

Dilansir BeritaSatu.com, suap ini diberikan sebagai bagian dari komitmen fee lantaran Bowo Sidik Pangarso membantu PT HTK mendapatkan kembali kontrak kerja sama dengan PT Pupuk Indonesia Logistik (Pilog) untuk mendistribusikan pupuk yang diproduksi PT Pupuk Indonesia. Selain dari PT HTK yang merupakan cucu perusahaan Humpuss Grup milik Tommy Soeharto, Bowo Sidik Pangarso juga diduga telah menerima suap dan gratifikasi dari sejumlah pihak lain yang totalnya mencapai Rp 8 miliar.

Suap dan gratifikasi itu diduga dikumpulkan calon legislatif (caleg) petahana Golkar dari daerah pemilihan (dapil) Jawa Tengah II tersebut untuk “serangan fajar” saat hari pencoblosan Pemilu 2019. Uang dalam pecahan Rp 20000 dan Rp 50000 itu telah dimasukkan dalam 400.000 amplop dengan 84 kardus.

“Diduga telah mengumpulkan uang dari sejumlah penerimaan-penerimaan terkait jabatan yang dipersiapkan untuk “serangan fajar” pada Pemilu 2019 nanti,” kata Wakil Ketua KPK, Basaria Panjaitan dalam konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (28/3/2019) malam.

Tindakan Bowo Sidik Pangarso menyiapkan 400.000 amplop untuk “serangan fajar’ terasa janggal. Dengan asumsi satu amplop untuk satu pemilih, jumlah 400.000 amplop tersebut terlalu berlebihan untuk seorang caleg petahana Dapil Jateng II.

Berkaca pada Pemilu 2014, dapil Jateng II yang terdiri dari Kabupaten Demak, Kabupaten Jepara, dan Kabupaten Kudus memperebutkan tujuh kursi di Senayan. Dengan 1.579.820 suara sah dari total pemilih yang menggunakan hak pilihnya 2.150.169, Partai Golkar menduduki peringkat teratas dengan raihan 448.420 suara disusul PKB dengan 230.157 suara dan Gerindra dengan 177.111 serta PDI-P dengan 175.036.

Atas raihan suara tersebut, Partai Golkar langsung mendapat satu kursi di DPR RI dan diduduki caleg dengan perolehan tertinggi Nusron Wahid 243.021 suara. Sementara Bowo Sidik Pangarso sendiri melenggang ke Senayan dengan raihan suara 66.909.

Bukan tak mungkin, 400.000 amplop yang disiapkan Bowo Sidik Pangarso tak hanya untuk dirinya sendiri. Apakah Bowo Sidik Pangarso sengaja menyiapkannya untuk kepentingan partai?

Saat ditangkap dan ditetapkan tersangka, Bowo Sidik Pangarso menjabat sebagai Ketua Bidang Pemenangan Pemilu Jawa Tengah I kepengurusan DPP Golkar. Bahkan beredar informasi di kalangan awak media, amplop tersebut disiapkan untuk “serangan fajar” terkait Pilpres. Dugaan ini menguat karena dalam konferensi pers semalam, saat tim KPK menunjukkan beberapa amplop yang berada di luar kardus, terlihat tanda seperti cap ujung jempol warna hijau di sisi luar amplop.

Dikonfirmasi mengenai hal ini, Basaria menyatakan, tidak ada cap jempol atau indikasi amplop tersebut untuk “serangan fajar” terkait pilpres. Basaria menekankan, berdasarkan pengakuan Bowo Sidik Pangarso, amplop tersebut dipersiapkan untuk kepentingan dirinya pribadi sebagai caleg.

“Apa ada cap jempol? Kita pastikan tidak. Mungkin besok kalau sudah diperlukan tapi seizin penyidik hasil pemeriksaan tim kita, dia katakan uang sama tujuan “serangan fajar”, itu pengakuan dari dia untuk kepentingan dia karena ingin calonkan diri ke DPR,” katanya.

Awak media yang mengikuti konferensi pers meminta KPK untuk menunjukkan satu amplop yang berada di dalam kardus. Permintaan ini untuk memastikan tidak adanya cap jempol atau tanda lain yang terkait dengan Pilpres. Namun, KPK tak bersedia mengabulkan permintaan tersebut karena terkait dengan prosedur hukum.

Jubir KPK, Febri Diansyah yang mendampingi Basaria dalam konferensi pers semalam mengatakan, pihaknya tak dapat membuka kardus atau amplop yang disita karena khawatir akan mengubah atau merusak barang bukti kasus yang menjerat Bowo Sidik Pangarso. Untuk itu, Febri dan KPK meminta pengertian masyarakat atas prosedur hukum tersebut.

“Amplop-amplop di dalam kardus yang ada tadi dalam posisi dilem. Untuk mengubahnya dibutuhkan berita acara karena ada prosedur mengubah barang bukti. Nanti kalau majelis hakim di persidangan membutuhkan untuk dipersilakan dibuka, maka akan dilakukan,” katanya.

Lepas dari amplop tersebut akan disebarkan dengan tujuan apa pun, KPK menyesalkan masih adanya calon penyelenggara negara yang menggunakan cara kotor dengan “serangan fajar” untuk meraup suara. Apalagi, kasus ini terjadi di tengah upaya KPK dan sejumlah partai politik membangun politik yang berintegritas.

“Oleh karena itu, KPK kembali mengajak masyarakat untuk mengingat dan memahami slogan “Pilih yang Jujur” sebagai sikap yang harus kita ambil dalam Pemilu 2019 ini. Kita para pemilih bersikap jujur dengan cara menolak setiap bujukan atau pemberian uang “serangan fajar” dan tidak memilih calon pemimpin yang menggunakan politik uang, karena hal tersebut akan mendorong mereka korupsi saat menjabat.

KPK Juga mengajak masyarakat memilih calon yang jujur, memenuhi janji-janji kampanye dengan setulusnya, termasuk calon yang telah patuh melaporkan LHKPN secara tepat waktu dan jujur. “Pada 17 April 2019 nanti adalah waktu yang monumental bagi rakyat Indonesia  untuk memilih pemimpin yang jujur,” kata Basaria.

Seperti diberitakan sebelumnya, KPK menetapkan anggota Komisi VI DPR dari Fraksi Golkar, Bowo Sidik Pangarso, dan anak buahnya, staf PT Inersia bernama Indung, sebagai tersangka kasus dugaan suap terkait distribusi pupuk. Selain Bowo Sidik Pangarso dan Indung, KPK juga menjerat Marketing Manager PT HTK, Asty Winasti sebagai tersangka. Para pihak tersebut ditetapkan sebagai tersangka setelah diperiksa intensif usai ditangkap dalam operasi tangkap tangan (OTT) pada Rabu (27/3) hingga Kamis (28/3) dini hari.

Kasus ini bermula saat PT HTK berupaya kembali menjalin kerja sama dengan PT Pilog untuk mendistribusikan pupuk PT Pupuk Indonesia menggunakan kapal-kapal PT HTK. Untuk merealisasikan hal tersebut, PT Humpuss meminta bantuan Bowo Sidik Pangarso.

Pada tanggal 26 Februari 2019 dilakukan MoU antara PT Pilog dengan PT HTK. Salah satu materi MoU tersebut adalah pengangkutan kapal milik PT HTK yang digunakan oleh PT Pupuk Indonesia.

Dengan bantuannya tersebut, Bowo Sidik Pangarso meminta komitmen fee kepada PT HTK atas biaya angkut yang diterima sejumlah US$ 2 per metric ton. Untuk merealisasikan komitmen fee ini, Asty memberikan uang sebesar Rp 89,4 juta kepada Bowo Sidik Pangarso melalui Indung di kantor PT HTK di Gedung Granadi, Jakarta, Rabu (27/3).Setelah proses transaksi, tim KPK membekuk keduanya.

Suap ini bukan yang pertama diterima Bowo Sidik Pangarso dari pihak PT HTK. Sebelumnya, Bowo Sidik Pangarso sudah menerima sekitar Rp 221 juta dan US$ 85.130 dalam enam kali pemberian di berbagai tempat, seperti rumah sakit, hotel dan kantor PT HTK. Uang yang diterima tersebut telah diubah menjadi pecahan Rp 50000 dan Rp 20000 sebagaimana ditemukan tim KPK dalam amplop-amplop di sebuah kantor di Jakarta.

Selain dari Humpuss, KPK menduga Bowo juga menerima suap atau gratifikasi dari pihak lain. Atas tindak pidana yang diduga dilakukannya, Bowo Sidik Pangarso dan Indung disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan atau Pasal 12B UU nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP Juncto Pasal 64 Ayat (1) ke-1 KUHP.

(*)

Sumber

Pos terkait