MAKASSAR — Komite Pemantau Legislatif (Kopel) Indonesia menegaskan pengusutan dugaan korupsi pada proyek pembangunan di kawasan Center Point Of Indonesia (CPI) terus berjalan. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus bergerak mengusut masalah tersebut.
Hal itu diungkapkan Wakil Direktur Kopel Indonesia, Herman menanggapi kabar kelanjutan penanganan kasus megaproyek Center Point of Indonesia (CPI) yang terkesan jalan di tempat. Menurut Herman, KPK tentu tidak akan diam mengusut kasus tersebut.
Kasus megaproyek CPI secara resmi memang telah ditangani KPK sejak April 2016, menyusul laporan dari Koalisi Masyarakat Anti- Korupsi (KMAK). Koalisi yang terdiri dari beberapa lembaga, seperti Kopel Indonesia, LP-Sibuk, Aliansi Selamatkan Pesisir dan lainnya itu bahkan melaporkan Gubernur Sulsel, Syahrul Yasin Limpo, yang dianggap turut bertanggungjawab.
Saat ini, menurut Herman kinerja KPK dalam kasus CPI bukannya tidak terlihat. Sudah beberapa kali, pihak penyidik KPK menyambangi Kantor Gubernur Sulsel pada akhir Maret 2017.
Kala itu, sempat diberitakan penyidik lembaga anti-rasuah melakukan penggeledahan, tapi belakangan dibantah. KPK sebatas mengumpulkan data terkait kasus CPI.
“Sampai sekarang ini, di KPK memang sekarang ini lebih banyak untuk pelaporan masyarakat kurang mendapatkan tempat, terlalu ribet untuk menentukan langkah seperti apa yang akan diambil. Mereka (KPK) sudah turun di lapangan beberapa bulan lalu, kita serahkan lah sepenuhnya ke KPK. Sampai sekarang masih pulbaket,” kata Herman menjelaskan.
Sebelumnya, Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang, membenarkan adanya pengumpulan data terkait penuntasan kasus CPI di Kantor Gubernur Sulsel pada akhir Maret lalu. KPK disebutnya masih terus mendalami kasus tersebut.
“KPK enggak boleh gegabah, KPK enggak boleh SP3 makanya dalam mempelajari sesuatu itu berulang-ulang datang,” singkatnya.
Kasus CPI diketahui sedari dulu menuai penolakan dari berbagai pihak. Tidak hanya dilaporkan ke KPK, megaproyek tersebut juga sudah diadukan ke Ombudsman RI. Megaproyek CPI dilaporkan karena terindikasi merugikan negara hingga triliunan rupiah sejak dimulai pada 2009.(*)